Seiring Dengan Kreasinya, Dangdut Tidak Bisa Dipandang Sebelah Mata

Seiring Dengan Kreasinya, Dangdut Tidak Bisa Dipandang Sebelah Mata

Daripada meributkan dengan memberi kasta tertentu pada sebuah genre musik, mending kita jogetin aja, karena musik itu kan peran utamanya untuk menghibur

Lahir dan besar pada era MTV masih berjaya, referensi musik yang saya punya kebanyakan bersumber pada tayangan video klip yang diputar di MTV, yang rata-rata masih didominasi sama musik alternatif, dan rasanya saat itu tidak pernah terhubung dengan musik dangdut, yang dikemudian hari menjadi cukup identik dengan saya. Musik dangdut yang saya tahu biasa saya temui di beberapa gelaran pernikahaan atau pun keriaan lainnya di lingkungan rumah. Karena lumayan sering mendapati beberapa keriaan dengan musik dangdut sebagai menu utamanya, anggapan jika musik dangdut merupakan musik rakyat ini ternyata ada benarnya juga. Namun, meski begitu, band band seperti Muse dan Radiohead masih jadi playlist heavy rotation, ditambah beberapa band Jepang yang lumayan saya suka sebagai daftar putar CD dan mp3 player saya (haha dulu dengerin lagu melalui mp3 player). Rasanya tidak pernah terbersit sedikit pun musik dangdut di kepala saya saat itu.

Dalam perjalanan saya bermusik, kemudian saya menemukan progresif rock sebagai sesuatu yang baru, tepatnya ketika saya masuk ke SMK yang kebetulan secara spesifik menjadikan musik sebagai jurusan yang saya pilih. Ketika itu, beberapa teman dan senior di sekolah memberi referensi musik-musik progresif rock sebagai genre yang katanya ‘nyekill’ ini. “nih dengerin mah musik kaya gini”, mungkin kurang lebihnya seperti itu ketika mereka memberi referensi musik pada saya saat itu.

Yang paling menonjol tentu saja Dream Theater dengan drummernya (saat itu) Mike Portnoy. Pertama mendengar lagu-lagu mereka saya langsung suka dan memutuskan ingin bermusik seperti apa yang mereka mainkan. Sedikit pengakuan lucu jika diingat kembali. Dulu bahkan saking nge-fans nya dengan Mike Portnoy, saya sampai mempunyai nickname bernama Phenkz Portnoy hahaha. Maklum, masa-masa pencarian jati diri kala remaja, dan kebetulan pencarian itu kemudian menemukan chemistry dengan musik yang Dream Theater mainkan.

Lama saya jatuh cinta dengan progresif rock, sampai akhirnya perjalanan bermusik saya kemudian membawanya sangat jauh, bahkan mungkin tidak terhubung sama sekali dengan musik progresif rock. Kala itu saya tergabung dengan sebuah grup berama Ega Robot Ethnic Percussion. Menggaris bawahi kata Ethnic pada nama Ega Robot Ethnic Percussion, tentu kalian yang membaca ini sudah tahu arah musiknya Ega Robot Ethnic Percussion kemana. Yup, musik-musik yang kelompok ini mainkan kental dengan unsur etnik atau tradisi. Tapi, kemudian ini yang akhirnya jadi menarik dan mungkin jadi titik balik saya dalam bermusik. Kelompok ini kemudian menjadi gerbang awal saya untuk bereksplorasi dengan musik yang saya mainkan sekarang, yakni progresif dangdut.

Kala tergabung dengan Ega Robot Ethnic Percussion, untungnya saya tidak dibatasi akan eksplorasi musikal saya. Sebagai informasi saja, Ega Robot Ethnic Percussion merupakan kelompok musik yang menurut saya dinamis dan harus bisa fleksibel kemana saja, di mana dalam beberapa panggungnya tidak jarang kita mendapat permintaan untuk membawakan lagu dangdut. Saya yang tidak mempunyai basic memainkan musik dangdut tentu saja kebingungan, karena meski di kelompok ini ada pemain kendang nya, tetap saja harus dikuatkan pula oleh permainan drum dari saya.

Menanggapi semua kebingungan ini untunglah musisi pada zaman dulu menciptakan teknik tutti. Sebuah teknik dimana semua pemain memainkan hal yang sama, dari mulai notasi hingga ritmis. Teknik seperti ini sering saya temui di lagu-lagu progresif rock seperti Dream Theater. Uniknya, ternyata teknik itu bisa diaplikasikan dalam musik dangdut (ala-ala Ega Robot Ethnic Percussion tentunya haha). Dari sana saya jadi seperti menemukan keseruan tersendiri, dan musik dangdut yang biasanya hanya saya dengar di beberapa hajatan atau keriaan di lingkungan rumah menjadi satu hal yang akhirnya saya ‘ulik’ lagi lebih jauh. Beberapa bagian dalam musik dangdut cukup menyenangkan lewat beberapa ‘patahan’ di dalamnya. Jadi, ketika itu diisi dengan beberapa fill in dalam permainan drum saya, ternyata hasilnya cukup unik, dan yang pastinya ketika dimainkan pun menyenangkan. Menurut saya bermain drum itu yang penting harus menyenangkan dulu, mau itu genre rock, punk, atau bahkan dangdut. Selama itu menyenangkan, hajar saja.

Musik dangdut kemudian menjadi hits dimana-mana lewat musik turunannya yang bernama koplo. Meski beberapa musisi (bahkan dari genre dangdutnya sendiri) menilai sebelah mata dengan turunan musik dangdut ini, namun ternyata jika diulik lebih jauh lagi, genre ini punya vibes tersendiri, dan bahkan ketika mengaplikasikan musik progresif di dalamnya pun masih bisa nyambung, seperti halnya ketika menggabungkan musik etnik dan dangdut dengan musik progresif.

Cukup lama bermain bersama Ega Robot Ethnic Percussion, lagi-lagi perjalanan bermusik membawa saya lebih jauh lagi, hingga akhirnya saya dipercaya untuk menjadi drummer dalam sebuah acara di televisi. Karena acara televisinya pun sedikit banyaknya punya konsep yang mirip dengan musik Ega Robot Ethnic Percussion, jadi saya cukup cepat beradaptasi dengan pola disana. Dari acara tersebut musik koplo kemudian menjadi punya tempat tersendiri bagi saya, dan bahkan saking seringnya saya memainkan musik koplo, nama saya kemudian menjadi cukup identik dengan musik tersebut, bahkan saya sempat dikenal dengan nama Galih ‘ting nong’, yang mengacu pada pola permainan drum saya.

Seperti saya tulis di atas, diakui atau tidak musik dangdut (dengan semua turunannya, termasuk koplo) kemudian menjadi musik rakyat yang begitu populer. Saya yang awalnya memandang musik ini sebelah mata, pada akhirnya menjadi terbuka jika perkara musik rasanya semua sama saja, dan apakah pada outputnya musik bisa terasa bagus atau buruk, rasanya semua bersumber pada musisi nya, bukan genre musiknya. Tidak menutup kemungkinan juga dua genre musik ini bisa disatukan dengan kreativitas yang kita bisa.

Dulu, ketika dangdut dan rock sempat berseberangan, Rhoma Irama kemudian memasukan cita rasa Deep Purple yang ‘ngerock’ ke dalam musiknya, hingga bahkan rocker sekelas Ahmad Albar, vokalis band rock legendaris, God Bless, pernah melahirkan single dangdut berjudul “Zakia”. Zaman sekarang, beberapa tempat keriaan anak muda tidak jarang pula memasukan unsur koplo di dalamnya, lewat grup-grup musik semisal Feel Koplo, NDX AKA, dan banyak lagi lainnya. Jadi, daripada meributkan dengan memberi kasta tertentu pada sebuah genre musik, mending kita jogetin aja, karena musik itu kan peran utamanya untuk menghibur. Tarik sis, semongkooo!

BACA JUGA - “Rolling Stones dan Kultusnya di Bandung”

Galih Cahya Nugrah

Selain mengisi acara di sebuah televisi sebagai seorang drummer pengiring, saya juga mempunyai kanal Youtube berisikan segala sesuatu tentang drum versi saya (Galih_Justdrum). Selain itu, saya juga lumayan sering terlibat menjadi session player untuk beberapa orang musisi. 

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner