Musik Terlarang Itu Bernama Keroncong (Bagian Satu)

Musik Terlarang Itu Bernama Keroncong (Bagian Satu)

Karena misi Belanda saat itu tidaklah hanya berdagang tetapi ada misi rohani, maka muncullah sebuah kebijakan bagi para budak dalam hal perpindahan agama. Para tawanan Portugis dan Goa yang kala itu beragama Katolik akan mendapatkan kemerdekaan jika menjual agamanya dan berpindah ke agama Protestan yang dibawa Belanda. Banyak di kemudian hari yang mengambil kesempatan tersebut, dan mereka menetap berbaur dengan masyarakat sekitar. Mereka dikenal dengan nama kaum Mardijkers diambil dari bahasa Sanskerta, yaitu mahardika artinya merdeka.

Mardijkers hidup normal selayaknya rakyat Batavia kala itu, bahkan bermukim cukup lama berbaur hingga terjadi perkawinan silang dengan warga lokal dengan keturunannya yang bernama Mustiza. Sebagian Mardijkers sudah berusia lanjut meninggal di tanah Batavia dan sebagian lagi kembali ke Portugis. Kaum Mustiza tetap bertahan bermukim di area Batavia lama sekitar Penjaringan, Roa Malaka, Kampung Bandan, Kampung Muka dan Kampung Belakang. Pemukiman Mustiza banyak terdesak oleh para pribumi hingga banyak dari Mustiza beralih ke arah timur menyeberangi sungai Lagoa sekitaran Tanjung Priok. Sebuah tempat yang tentram hingga hari ini bernama Tanah Mahardika atau yang kita kenal sebagai Kampung Tugu.
 

BAB III: MORESKO, PROUNGA DAN KAFRINYU

Seperempat abad pasukan Portugis bersama tim Goa membelah samudera menjelajah lautan Afrika menuju Asia, memburu rempah hingga ke ufuk timur. Hanya hiburan seni musik yang bisa mereka nikmati selama perjalanan panjang ini. Ketiga jenis musik Moresko, Prounga dan Kafrinyu lah yang berperan penting dalam cerita ini. Pada dasarnya, bangsa Portugis menyukai tarian dan nyanyian, seperti yang tertulis pada sebuah buku yang rilis di awal abad 20 berjudul Krontjong als Muziek Instrument, Als Melodie en als Gezang, Batavia: 1919 karya Manusama. “Orang-orang Portugis bersama para budaknya, yakni orang Goa, datang ke Tanah Air kita, selain membawa biola, seruling dan rebana, juga membawa semacam mainan seperti gitar berukuran kecil (ukulele) berdawai lima yang kemudian disebut Keroncong”, tulis Manusama. Diperkuat oleh pernyataan yang dimuat dalam buku Oud Batavia, 1923 karya De Haan, bahwa gitar kecil Portugis itu bernama Pandeiro.


Portugis Pemusik

Moresco dan Kafrinyu merupakan perpaduan seni tari dan seni musik yang suasananya lebih gempita dan biasanya ditemani oleh minuman keras. Sebaliknya, Prounga dengan ketukan lebih lamban dan melankolis yang biasanya bertemakan lagu cinta. Kebiasaan di kapal ini terus dibawa oleh para pasukan Portugis dan Goa ketika menduduki Tanah Air. Mereka acap kali menghibur diri dengan budaya bernyanyi dan menari Moresco dan Kafrinyu sambil mabuk-mabukkan. Konon, selepas kerja mereka sering mengadakan keriaan di kedai-kedai minuman keras di pinggir jalan mengisi kehidupan malam di kota Batavia. Para warga pribumi hanya menjadi penonton kala itu, tentunya keterbatasan bahasa pula yang membuat pesta tarian dan nyanyian tersebut hanya milik kaum penjajah saja.

Lahir di Bandung 28 Juni 1977, mengawali karir bermusik bersama Harapan Jaya sebagai vokalis sejak 1996 hingga band ini diyatakan bubar. Membuat Teenage Death Star sebagai gitaris bersama Sir Dandy di tahun 2002. Sejak 2005 hingga 2012 menjabat sebagai Feature Editor di Trax Magazine. Pada tahun 2013 hingga sekarang membentuk Yayasan Irama Nusantara. Sebuah Yayasan pengarsipan musik populer Indonesia pra kemerdekaan hingga 1980 (sampai saat ini).

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner