Adaptasi Kebiasaan Proses Kreatif Di Era Digital

Adaptasi Kebiasaan Proses Kreatif Di Era Digital

Jangan sampai perkembangan teknologi secanggih sekarang karya yang kita hasilkan terdengar robotik dan menghilangkan ‘rasa’ dan ‘ruh’ yang seharusnya ada dalam sebuah karya

Seorang musisi atau group band memiliki cara tersendiri dalam proses penciptaan atau penulisan sebuah karya. Dimana proses kreatif itu terbentuk dari kebiasaan pribadi atau lingkungan sosialnya. Bagaimana peran perkembangan teknologi di era digital ini mempengaruhi kebiasaan itu?

Dalam beberapa hal, perkembangan teknologi jelas sangat membantu dalam proses kreatif ini. Misalnya, ketika anggota sebuah group band terpisah jarak dan waktu, proses itu sekarang bisa dilakukan secara daring, tanpa mengharuskan bertemu langsung. Namun, tak jarang dengan kemudahan akses teknologi justru malah menghambat laju proses kreatif itu sendiri. Misalnya, kendala koneksi internet yang tidak lancar atau gawai yang tidak mendukung.

Banyak cerita dari karya-karya yang terlahir dari proses kreatif yang terpisah jarak dan waktu, dan hasil karyanya tetap sampai ke ‘rumah’ nya.  Namun, terkadang hal-hal konvensional seperti berkumpul dan membangun chemistry ketika berada di dalam studio justru tetap menjadi kunci dalam membuat proses penciptaan sebuah karya.

Dalam hal publikasi pun, peran perkembangan teknologi sudah tentu sangat berbeda di era digital ini. Dimana, kita bisa dengan mudah mengunggah karya tanpa melalui proses yang cukup panjang jika dibandingkan dengan era dahulu. Tak sedikit karya yang dirilis secara mandiri sangat diterima dengan baik oleh penikmatnya. Peran perkembangan teknologi ini jelas mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan tadi. Dari mulai bagaimana inisiasi sampai akhirnya dipublikasikan kepada audiens.

Namun dengan kemudahan teknologi yang ada, tentunya hal tersebut dibarengi pula dengan lonjakan karya yang bisa dibilang melimpah ruah untuk sama-sama ‘bertarung’ di ranah digital. Karena bebas dan gratis maka jumlah karya yang dirilis setiap harinya pun melimpah. Hal ini kemudian mendatangkan pertanyaan tentang “karya yang seperti apa yang kemudian bisa diterima khalayak luas?”

Nama-nama yang bisa dibilang ‘itu-itu lagi’ mungkin bisa dengan cukup mudah mendapat perhatian dari khalayak karena telah sukses membangun basis penggemar militan, hingga apapun karya mereka akan dilahap oleh penggemar. Namun bagaimana dengan band-band atau musisi yang baru menapaki karir di ranah musik tanah air? Tentu hal tersebut membutuhkan startegi menarik untuk menarik khalayak agar karya tersebut bisa ter-notice ditengah limpahan karya lainnya di ranah digital.

Menggaris bawahi poin tentang “hal-hal konvensional seperti berkumpul dan membangun chemistry ketika berada di dalam studio justru tetap menjadi kunci dalam membuat proses penciptaan sebuah karya” mungkin bisa dijadikan konten yang seru untuk bisa diangkat ke permukaan. Dengan menggabungkan hal konvensional dengan teknologi yang ada seperti sosial media, hal tersebut bisa dijadikan konten yang bisa memancing khalayak untuk bisa notice dengan karya kita.

Misalnya saja, kita bisa dengan cukup mudah merekam proses kreatif kita di studio dengan alat rekam yang ada seperti ponsel misalnya. Saya pikir ponsel dengan fitur kamera yang bagus sudah umum dimiliki banyak orang. Maka tidak ada salahnya jika hal itu dijadikan alat untuk merekam kegiatan kita ketika berproses kreatif di studio. Dengan tambahan narasi yang menarik saya pikir hal tersebut bisa jadi konten cukup seru untuk bisa mengkoneksikan apa yang kita buat dengan khalayak banyak.

Duo musisi Endah N Rhesa pernah melakukannya di video di bawah ini 

Hal tersebut menjadi menarik karena duo ini memberi gambaran tentang proses kreatif mereka dengan alat sederhana, tanpa mengurangi esensi dan kualitas dari karyanya itu sendiri. Penonton yang melihat akan tergiring untuk beropini jika berkarya di era teknologi sekarang itu mudah, murah, dan menyenangkan. Soal hasilnya seperti apa, saya pikir itu berbanding lurus dengan bagaimana kita merangkai konten menarik ketika kita membuat karya.

Atau misalnya pembahasan soal ‘dapur rekaman’ yang ada di video di bawah ini 

Hal itu juga menarik, karena selain memberikan pengetahun lebih soal dunia rekaman dan detail kita dalam mengolah suara, hal tersebut juga menarik untuk bisa jadi konten di ranah digital. Saya pikir tidak ada salahnya kita membongkar rahasia dapur pas kita rekaman, hingga diharapkan orang-orang akan terkoneksi dengan proses kita membuat karya.

Saya pikir kecenderungan banyak orang hari ini adalah ‘ngulik’ sesuatu secara detail karena akses informasi dan teknologi yang sudah semakin maju. Sosial media seperti Youtube bisa jadi rujukan seru untuk banyak orang cari tahu tentang banyak hal, termasuk hal-hal detail seputar dunia rekaman. Pembahasannya bisa secara detail membahas cara kita berproses kreatif, mencari sound, menggunakan perangkat lunak dalam rekaman, atau hal apapun yang bisa menjadi ‘asupan nutrisi’ bagi mereka yang ‘haus’ akan hal-hal detail soal rekaman.

Contoh lainnya mungkin bisa kita lihat di film ‘Frank’ misalnya. Dalam film tersebut dikisahkan soal Frank dan teman bandnya yang melakukan karantina untuk rekaman album, di mana salah seorang personil bernama Jon merekam semua proses kreatif mereka rekaman, lalu mengunggahnya ke Youtube. Hal itu kemudian menjadi viral dan band Frank kemudian menjadi perbincangan. Hal itu mungkin bisa kita aplikasikan sebagai konten yang menarik untuk memunculkan nama band kita ke permukaan.

Semua kemudahan itu tentunya harus diimbangi pula dengan karyanya itu sendiri. Karena yang terpenting dari itu semua adalah karyanya itu sendiri. Jangan sampai perkembangan teknologi secanggih sekarang karya yang kita hasilkan terdengar robotik dan menghilangkan ‘rasa’ dan ‘ruh’ yang seharusnya ada dalam sebuah karya. Tetap saja kutipan yang berbunyi ‘karya yang berasal dari hati akan sampai ke hati’ agaknya harus kita amini sepanjang waktu, selama kita memilih musisi sebagai profesi kita, karena nyatan musik adalah perihal rasa, dan teknologi yang ada hanyalah cara agar kita bisa menyampaikan ‘rasa’ tersebut.

BACA JUGA - Mengubah Kendala menjadi Katalis dalam Berkarya

Roni "Smi7h" Tresnawan

Roni "Smi7h" Tresnawan adalah founder dari band My Violainé Morning dan Pop at Summer, juga founder dari net label Grotesque Records/Humané Records. Terlibat aktif juga di beberapa label lokal lain seperti Glossarie Records, Narumi Records dan RDR. Selain kegiatan musik, Smi7h bergerak di bidang visual dengan pseudonym Smith1979, juga founder dari Narumi Visual.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner