Musik Terlarang Itu Bernama Keroncong (Bagian Satu)

Musik Terlarang Itu Bernama Keroncong (Bagian Satu)

Pada zaman kolonial Belanda, setelah kebebasan sebagian tentara Portugis, para mantan napi yang kemudian dikenal sebagai kaum Mardijkers hidup normal dan mereka kerap terus melakukan tarian dan nyanyian di pemukimannya. Kendala bahasa, maka musik Moresco dan Kafrinyu saat itu masih hanya milik bangsa Portugis semata. Seiring dengan waktu, para generasi penerus yaitu kaum Mustiza hidup lebih dinamis, kaum ini lebih membumi di tanah Batavia mengingat sudah banyak perkawinan silang dengan pribumi membuat hubungan dengan masyarakat sekitar semakin mendekat dan menyebar. Kendala bahasa lambat laun sudah bukan menjadi masalah, penggunaan bahasa Melayu lambat laun muncul di lagu-lagu Moresco dan Kafrinyu.

De Haan (1923) dalam bukunya menyatakan bahwa lahirnya lagu “Nina Bobo” adalah penanda lagu di jaman peralihan, di mana sudah mulai digunakan dua bahasa yaitu Portugis dan Melayu. Lagu tersebut terbagi dalam dua bait, diawali dengan bait berbahasa Portugis dan bait berikutnya dalam bahasa Melayu. Lagu pengantar tidur bayi ini telah populer di abad 19 di kalangan ibu-ibu Batavia. Lagu versi penuh berbahasa Melayu “Nina Bobo” ini akhirnya muncul di tahun 1930 dibawakan dengan beberapa versi vokalis dari Miss Lee dari Orkes NIROM, Miss Tiu dari Orkes Keroncong De Nachtegaal hingga Kusbini dari The Melody Band. Masa transisi perubahan lirik dari bahasa Portugis ke bahasa Melayu diperkirakan dimulai dari tahun 1879 hingga 1893.

Posisi pemukiman para kaum Mardijkers dan Mustiza sejak awal abad ke 17 yaitu Tanah Mahardika atau Kampung Tugu memiliki peranan yang sangat penting dalam munculnya musik Keroncong. Kebudayaan tarian dan nyanyian Moresco, Kafrinyu dan Prounga masih tetap mereka pertahankan, tiga alat musik atau waditra utama, yaitu pandeiro, seruling dan rebana adalah alat wajib. Khususnya bagi Pandeiro (gitar kecil) semakin lama semakin sulit didapat, mengingat mulai sulitnya akses impor dari Portugis ke Batavia. Pandeiro yang dikenal dengan kualitas nomor wahid semakin langka, Kampung Tugu dipaksa untuk memproduksi secara mandiri waditra pengganti dengan menurunkan standar kualitas bahan dengan segala keterbatasannya. Pandeiro semakin dilupakan sebaliknya gitar kecil buatan lokal semakin digemari, lalu pada akhirnya di kemudian hari banyak orang menyebut gitar kecil tersebut dengan nama Keroncong Tugu.


Keroncong Tugu

Asal muasal munculnya istilah Keroncong sendiri selalu menjadi perdebatan lewat beberapa versi menurut para pakar dan akan terlalu panjang apabila kita bedah dalam tulisan ini. Pendek cerita, kemungkinan dari data yang ditemukan istilah Keroncong mulai digunakan pada tahun 1890. Ketika Moresco kemudian akhirnya dikenal dengan nama Keroncong dan Prounga akhirnya dikenal dengan nama Stambul di Indonesia. Secara ilmu bebunyian banyak perubahan besar antara musik Moresco asli dengan Keroncong, sangat berbeda lewat sekian panjang proses asimilasinya. Istilah Keroncong asli muncul di tahun 1930 dan sesuai dengan perkembangan musik Keroncong yang pesat sebagai musik populer, maka perdebatan pro dan kontra debat kusir para puritan dan seniman Keroncong modern atau kontemporer sebenarnya sudah dimulai sejak zaman pra kemerdekaan.

Lahir di Bandung 28 Juni 1977, mengawali karir bermusik bersama Harapan Jaya sebagai vokalis sejak 1996 hingga band ini diyatakan bubar. Membuat Teenage Death Star sebagai gitaris bersama Sir Dandy di tahun 2002. Sejak 2005 hingga 2012 menjabat sebagai Feature Editor di Trax Magazine. Pada tahun 2013 hingga sekarang membentuk Yayasan Irama Nusantara. Sebuah Yayasan pengarsipan musik populer Indonesia pra kemerdekaan hingga 1980 (sampai saat ini).

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner