Mendengar Adalah Konstelasi Tak Memudar

Mendengar Adalah Konstelasi Tak Memudar

Kita mesti mulai banyak mendengar jika usia sudah tak lagi muda jika ingin tetap relevan, belajar memahami apa yang terjadi hari ini, membuka ruang percakapan dengan usia yang lebih muda, bukan berusaha menghakimi selera musik mereka, generasi muda lebih cepat menyerap sesuatu, mungkin karena teknologi yang begitu maha hebatnya update setiap waktu. Jika bertahan dengan ego yang selalu merasa tahu dan bisa melakukan sesuatu, bukan mustahil karya atau apapun yang kita rilis nantinya jadi bahan tertawaan generasi dibawah kita. Mereka juga gak peduli dengan kemampaun pengetahuan musik generasi di atas mereka, dan definisi profesi pengamat musik seperti Bens Leo juga apakah masih dibutuhkan saat ini?

Di saat apa saja tentang musik yang ingin kita cari tinggal berselancar dengan papan selancar bernama google, pengamat musik seperti tinggal nama sebuah profesi saja, untung saja Bens Leo mulai ngeh dengan tren podcast, membuka ruang etalase percakapan digital bernama Cakap Cakap di instagram miliknya. Namun sekali lagi, seorang Bens Leo pun seperti butuh effort lebih untuk membawa Cakap Cakap menjadi  dilihat generasi muda, di mana artwork flyer digitalnya kurang mumpuni dipandang mata. Lelah memang untuk tetap relevan di masa sekarang, masa dimana generasi muda lebih apresiasiatif terhadap karya Ghostmane yang mereka anggap representasi era mereka lewat simbol kegelapan dengan balutan kesesatan agama yang keren dengan balutan rima lirik cepat. Padahal generasi kita tahu ada Marilin Manson, Mayhem, Varg vikernes atau Papa Emeritus dari Ghost yang telah hadir terlebih dahulu.

Apakah secarik kertas yang tergeletak disebelah simbol perlawanan era 90-an Kurt Cobain menasbihkan sebuah makna mendalam bagi ketakutan generasi kita, yakni “Lebih baik terbakar daripada Memudar”

BACA JUGA - Konser Belum Ada, Akan Bagaimana Musik Tahun Ini di Indonesia?

Akbar Haka lahir di Tenggarong, 19 Februari 1983. Anak ketiga dari 4 bersaudara dan Ayahnya Drs. Halidin Katung yang disingkat menjadi akhiran namanya "Haka" adalah seorang gitaris band rock terkenal di Kalimantan Timur - D'Gilz pada medio akhir 1970-an. Selepas menamatkan SMA 1 Tenggarong pada tahun 2000, Akbar merantau ke Bandung hingga 2005, lalu pindah ke Jakarta (2005-2007), lalu kembali menetap di Tenggarong sebagai kecintaannya pada kampung halaman dan bercita-cita meledakkan nama Tenggarong, Kutai Kartanegara di Peta Musik Keras Nasional.

Perlahan cita-citanya terwujud saat mendirikan Kapital (2005) sampai sekarang, dan telah memiliki 6 album penuh, mewakili Indonesia dalam Heartown Rock Fest Taiwan 2018, dan saat ini sedang berproses untuk album ke tujuh "MANTRA".

Membentuk skena musik keras di Tenggarong bernama "Distorsi" yang kemudian melahirkan event rock berskala internasional KUKAR (Kutai Kartanegara) Rock In Fest dan ROCK IN BORNEO yang tercatat dalam rekor MURI sebagai festival rock terbesar dan gratis di Indonesia dengan catatan 80 ribu penonton.Juga aktif tercatat sebagai Music Director untuk Lembaga Pembinaan Kebudayaan Kabupaten Kutai Timur yang membawa Akbar Haka bersama sanggar-sanggar Tari Dayak atau pun Kutai berkeliling Eropa sebanyak dua kali, kemudian Shanghai, Vietnam, Singapura dan beberapa pertunjukan tradisi di dalam dan luar negeri.

Terobsesi oleh hampir semua karya tulis dari Tan Malaka, dan yang paling melekat dalam persepsi Akbar Haka adalah Terbentur, Terbentur, Terbentur...... Terbentuk!

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner