Konser Belum Ada, Akan Bagaimana Musik Tahun Ini di Indonesia?

Konser Belum Ada, Akan Bagaimana Musik Tahun Ini di Indonesia?

Foto merupakan dokumentasi pribadi Harlan Boer.

Sepanjang pandemi yang dimulai pada Maret 2020, dengan tanpa atau minimnya acara dan pertunjukan, di sisi lain justru menjadi masa yang tersendiri bagi sirkuit musik, khususnya di Indonesia. Lepaskan rasa terkurung dan segala keterbatasannya, tahun ini sepertinya semua akan berkembang menjadi lebih menggairahkan lagi.

Kita mulai dari para musisi senior. Bila tahun-tahun sebelumnya band-band dan para musisi veteran mendapatkan tempat melalui panggung semacam Synchronize Festival—tahun 2019 bahkan bisa “menghidupkan kembali” almarhum Chrisye melalui pertunjukan multimedia besutan Erwin Gutawa—belakangan ini yang terjadi adalah rilis ulang karya-karya klasik semakin menjadi-jadi. Album-album dari Yanti Bersaudara, Fariz RM, Iwan Fals, Ebiet G. Ade, Kahitna, sampai Nike Ardilla dirilis ulang dalam format piringan hitam. Khusus untuk Nike Ardilla, saya pikir seharusnya sampul album menampilkan foto yang lebih besar lagi, dan lebih maksimal bila disertakan bonus foto-foto Nike Ardilla di dalam kemasannya.  

Album Gombloh Live Gila yang dirilis ulang pada tahun lalu, akan lebih nampol jika diikuti Nadia & Atmospheer (1978) dan Sekar Mayang (1981)—dua karya besar Gombloh. Rilis ulang CD debut album Waiting Room, juga mungkin bisa diteruskan dengan album Propaganda dalam format yang sama. Rilis ulang Santamonica Curiouser And Curiouser dan debut album The Brandals, sangat mungkin untuk diikuti album-album fenomenal 2000an lainnya, bahkan era setelahnya. Sementara album-album Rotor mungkin yang paling banyak dirilis ulang, baik dalam format kaset, CD, piringan hitam, sampai dengan boxset dan merchandise-nya.   

Semakin melimpahnya rilis ulang dalam berbagai format ini, terutama piringan hitam, di sisi lain juga menjadi “medan pertempuran prioritas” bagi konsumen, yang tentunya bisa sampai ke toko-toko para pedagang. Apakah produksi yang melimpah diikuti pembelian yang rajin? Tapi setidaknya, “gempuran” produksi piringan hitam dari album-album re-issue, belum lagi ditambah sejumlah rilisan rekaman terbaru (baik oleh band lama maupun baru), berpotensi untuk menambah jumlah penggemar rilisan fisik dari masing-masing fanbase para band/musisi tersebut. Bila semuanya bergerak, tidak mustahil jumlah ini akan terus bertambah, walau pasti karena pertimbangan harganya, menjadi selektif dalam memilih sesuai prioritas selera masing-masing.     

Bila rilisan fisik semakin massal diminati, menyebar ke berbagai usia pendengar musik, dengan segala keterbatasan hari ini (terutama popularitas dan ketersediaan alat pemutarnya), sudah pasti itu menjadi pemasukan yang baik bagi para musisi, dari genre apa saja.

Harlan Boer adalah penulis, musisi, produser, dan seniman visual. Pernah tergabung bersama the Upstairs, C'mon Lennon, dan menjadi manajer band Efek Rumah Kaca. Sebagai singer-songwriter hingga kini sudah merilis sejumlah single, 4 mini album, dan 2 album penuh. Tinggal dan bekerja di Jakarta.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner