Mendengar Adalah Konstelasi Tak Memudar

Mendengar Adalah Konstelasi Tak Memudar

Namun apa yang terjadi hari ini? Ahmad Dhani seperti tak memiliki sedikit pun elemen diatas tadi, beberapa karya terbarunya jauh dibawah standar produksi, sound yang seadanya, aplikasi drum midi usang, hingga video musik yang terus saja di buat berulang-ulang didalam rumah mewahnya yang cat hitamnya mulailah pudar, berlabel video legend karya-karya baru atau repackage yang hanya menjadi seperti tumpukan batu bata lama yang pecah di berbagai sisi. Sungguh tak mampu berpresisi, memfollow akun instagram pribadinya menambah formula kesedihan kita sebagai Baladewa. Desain artwork untuk beberapa flyer event virtualnya seperti memproklamirkan bahwa kemampuan branding seorang Ahmad Dhani tercap seperti “Tak punya selera”.

Kita jadi berpersepsi, apakah seorang Ahmad Dhani tak mau mendengar masukan tim kreatifnya, atau anaknya Al, El, dan Dul yang kini terjun di industri yang sama dan cukup related dengan keadaan, ataukah Ahmad Dhani hanya ingin terus menerus mengelap piala lamanya, membanggakan lagu-lagu lama yang meledak dan diaransemen ulang demi kebutuhan konten kanal youtube nya.

Ahmad Dhani tak sendiri,banyak seniman Indonesia yang sungguh tak mampu masuk dalam arus pergeseran tren industri hari ini, melepas karya yang sungguh tak bersinergi dengan Gen Z yang selera musiknya hampir susah di tebak sekelas A & R label ternama. Lebih kritis dan lekas meloncat loncat setlist lagu hariannya. Semuanya dikarenakan agregator layanan digital streaming yang bertebaran dimana mana, menawarkan kemudahan merilis lagu tanpa harus dibidik label records besar terlebih dahulu, sehingga arus karya lagu yang masuk dalam industri musik sungguh melesat cepat tanpa ampun setiap hari.

Hal itu pulalah salah satu yang membuat tak ada lagi definisi pelabelan terhadap selera musik seseorang hari ini. Pagi mendengarkan Slayer, siang bisa Mawar De Jongh, dan sore hari bisa jadi mendengar Ardhito Pramono, lalu di saat malam mendengar Rise Of The North Star sebagai deretan lagu pemuas pengakuan insecure berdasarkan mood harian mereka.

Akbar Haka lahir di Tenggarong, 19 Februari 1983. Anak ketiga dari 4 bersaudara dan Ayahnya Drs. Halidin Katung yang disingkat menjadi akhiran namanya "Haka" adalah seorang gitaris band rock terkenal di Kalimantan Timur - D'Gilz pada medio akhir 1970-an. Selepas menamatkan SMA 1 Tenggarong pada tahun 2000, Akbar merantau ke Bandung hingga 2005, lalu pindah ke Jakarta (2005-2007), lalu kembali menetap di Tenggarong sebagai kecintaannya pada kampung halaman dan bercita-cita meledakkan nama Tenggarong, Kutai Kartanegara di Peta Musik Keras Nasional.

Perlahan cita-citanya terwujud saat mendirikan Kapital (2005) sampai sekarang, dan telah memiliki 6 album penuh, mewakili Indonesia dalam Heartown Rock Fest Taiwan 2018, dan saat ini sedang berproses untuk album ke tujuh "MANTRA".

Membentuk skena musik keras di Tenggarong bernama "Distorsi" yang kemudian melahirkan event rock berskala internasional KUKAR (Kutai Kartanegara) Rock In Fest dan ROCK IN BORNEO yang tercatat dalam rekor MURI sebagai festival rock terbesar dan gratis di Indonesia dengan catatan 80 ribu penonton.Juga aktif tercatat sebagai Music Director untuk Lembaga Pembinaan Kebudayaan Kabupaten Kutai Timur yang membawa Akbar Haka bersama sanggar-sanggar Tari Dayak atau pun Kutai berkeliling Eropa sebanyak dua kali, kemudian Shanghai, Vietnam, Singapura dan beberapa pertunjukan tradisi di dalam dan luar negeri.

Terobsesi oleh hampir semua karya tulis dari Tan Malaka, dan yang paling melekat dalam persepsi Akbar Haka adalah Terbentur, Terbentur, Terbentur...... Terbentuk!

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner