Why Metal Cover Matters

Why Metal Cover Matters

“Anymore, no one’s mind is their own”. (Chuck Palahniuk)

Percaya tidak percaya, terima atau tidak, kalau bandmu ingin cepat dikenal di jaman now yang serba viral ini, silakan mengkover lagu-lagu Pop(uler). Daripada  mempertaruhkan kreativitasmu dengan segala aransemen dan lirik yang mencoba cerdas, jenaka, dan serba kiwari, tapi belum tentu dapat like, share, dan subscribe yang gila-gilaan.

Ya, sekali lagi. Kecuali kamu punya band bergenre musik ekstrim yang nampak unik dan artsy dari aspek lirik, diselubungi aura kemisteriusan nan membosankan, dan menyimpan potensi laku keras. Konsep semacam itu pasti laku untuk dijual. Dan kalaupun tidak dijual (mungkin karena merasa sudah mapan atau “oh baiklah, tapi kami kan cuma bersenang-senang”), apa mau menyangkal nikmatnya gemerlap popularitas di dunia maya meski sambil malu-malu dan seringnya berdurasi singkat?

Dan untungnya band semacam itu, kalaupun beneran ada dan belum pernah mengkover lagu, tak akan masuk dalam perbincangan ini. Oke, skip..

Tulisan ini sebuah upaya penguraian dari salah satu status Facebook saya. Dalam status tersebut, saya menyinggung persoalan kover mengkover lagu “Non Metal” oleh band “Metal”. Urusan kover mengkover itu sebenarnya sudah bukan hal aneh, bahkan jika yang dimainkan merupakan lagu yang versi orisinalnya sama sekali tidak metal. Atau, sebut saja musik “Pop”.

Mengapa Mengkover Lagu?

Fenomena kover mengkover lagu bermula sejak era 50-an di Amerika Serikat. Awalnya sebagai tindakan sejumlah perusahaan rekaman dengan cara mereproduksi lagu-lagu yang dikemas lebih mutakhir demi membidik pasar potensial. Rata-rata lagu yang dipermak sehingga terkesan baru itu merupakan karya para musisi kulit hitam. Namun selama proses reproduksi sampai tingkat popularitas yang dicapai, para pencipta aslinya (musisi kulit hitam) tidak menerima pengakuan yang tepat, apalagi kompensasi keuangan. Praktik tersebut ditunjang oleh semangat jaman negara itu yang masih menerapkan aturan hukum rasis. Sehingga praktik pelanggaran hak cipta semacam itu dianggap tidak melanggar hukum.

Kini, mengkover sebuah lagu lalu membagikannya secara komersil jelas sangat berisiko. Kita masih ingat bagaimana band sebesar Led Zeppelin harus menanggung sanksi denda setelah bertahun-tahun sejumlah lagunya ternyata hasil jiplakan, atau kalau tidak berlebihan menyebutnya; pencurian.

Sementara itu, di era digital, mendompleng dengan cara mengkover lagu kian menjadi metode yang ampuh untuk mencuri perhatian. Malahan tak perlu susah-susah mengaransemen ulang komposisi musiknya jika sekadar ingin diperhatikan dengan cara diviralkan. Cukup belajar kepada junjungan kita Bowo Alpenliebe atau sejenisnya. Tapi ini adalah kover. Bukan lipsync, karaoke, atau boro-boro menjiplak sebuah lagu.

Hernandes Saranela

Hernandes Saranela merupakan pembuat film personal di bawah bendera kolektif Cinemarebel Yogyakarta. Vokalis dari band Punk DEMSTER & band Pagan Metal ENUMA ELISH. Juga menjadi pengajar film dan akting di salah satu kampus di Jogjakarta.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner