Tongkrongan, Band Paket, dan Cara Kancah Berbagi

Tongkrongan, Band Paket, dan Cara Kancah Berbagi

Tapi dari serangkaian momentum tadi yang perlu kita garisbawahi adalah soal berbagi. Berbagi sudah jadi bagian dari kancah kita. Sejak hari pertama. Dari situ kemudian muncul kantung-kantung tongkrongan kota yang cukup memberi pengaruh pada perjalanan kancah ini di era selanjutnya. Bicara Bandung saja, sudah bisa kita sebut beberapa. Ada PI untuk scene punk, Ujung Berung untuk scene metal, Purna untuk grunge, atau Kintam dan Dipati Ukur yang jadi tongkrongannya anak Indies.

Pada perjalanannya, pelaku-pelaku ini lalu berjejaring. Tak hanya antar-tongkrongan di dalam kota tapi juga luar kota bahkan negeri. Mendobrak batasan-batasan yang ada atas nama gairah muda dan bersenang-senang. Merayakan renjana.

Kalau mengacu Will Straw, maka inilah yang disebut scene (di Indonesia sering dibahasakan menjadi skena). Sebuah ruang budaya di mana berbagai praktik musik hidup berdampingan, berinteraksi satu sama lain dalam berbagai proses diferensiasi, dengan perubahan dan fertilisasi silang yang sangat bervariasi.

Tapi tentu keberadaannya tidak hanya sekadar ruang berbagi wacana dan pertukaran ide serta referensi. Dari situ, mulai muncul keinginan dari pelaku kancah untuk membuat sesuatu berdasarkan apa yang mereka suka dan sering dengarkan.

Di scene indies misalnya --mungkin saya hanya cukup cakap bicara soal ini--, mulai bermunculan band-band baru di rentang 1996-1997 pasca-kemunculan band-band pionir seperti Pure Saturday, Cherry Bombshell, dan kemudian Kubik (yang mesti punya karakter gelap, tetapi mengambil banyak acuan dari band-band shoegaze Inggris seperti Curve).

Band-band yang bisa disebut sebagai generasi pertama (kalau kita menyebut para pionir sebagai era proto) ini lahir dari setidaknya dua tongkrongan besar yang lekat dikenal sebagai tongkrongan indies. Yakni Paguyuban Rocker Bandung di Dipati Ukur dan Kintam di Ranggamalela.

Sayangnya, band-band ini belum memiliki ruang ideal untuk tampil bersama dalam satu panggung. Menyiasati ini, para pegiat scene indies lantas mengorganisasi diri pada sejumlah perhelatan yang digelar mandiri. Frantic Indies Party yang digelar di Dago Tea House pada 1996 salah satunya.

Irfan Muhammad (menamakan nama penanya sebagai irfanpopish) adalah penulis buku @bandungpopdarlings. Sehari-hari dia bekerja sebagai jurnalis yang bertugas di Ibu Kota untuk desk Polhukam. Di luar aktivitas liputannya, Irfan sesekali masih menangani Yellowroom Records, label kecil yang dia mulai bersama sejumlah teman di Bandung sejak 2014 dan bermain untuk unit alternative, MELT.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner