Solidaritas, Pop, dan Buruh
Pada awal 1980an, di jalur underground kemuakan pada perbudakan korporasi banyak dibunyikan se-ekstrem dan sebising mungkin di Amerika dan Eropa. Kita dahulu di Indonesia, setidaknya bagi “generasi '90an”, bisa menangkapnya, mendapat pelajaran yang sulit ditemukan di sekolah, melalui kaset-kaset rekaman dengan sampul fotokopian yang berpindah tape deck dan tangan. Itu mungkin salah satu elemen penting yang dapat menjelaskan kenapa punk dan metal masih menemani dan menghantui kami walau kini sudah jauh dari usia muda dan headbanging semakin berisiko (setidaknya saya masih punya minat mengoleksi beberapa album Napalm Death). Sensasi yang menempel sejak dahulu, bahkan ketika saya menerima brief tulisan ini, lagu “Worker Bee” dari D.R.I. yang berdurasi di bawah satu menit itu baru saja akan berlangsung dari keping Compact Disc Thrash Zone yang saya putar. Awalnya bagi saya kesemua itu keren semata, beridentitas beda di kumpulan kecil, namun pada suatu hari apa yang mereka komunikasikan akan datang jauh lebih utuh dimengerti. Musik-musik yang telah memberi masukan, bukan berarti semuanya kesepakatan.
Lalu di mana posisi musisi Indonesia sendiri? Di masa remaja dulu, nyaris saya hanya punya seorang Iwan Fals untuk pintu masuknya. Sebagai contoh, di album Lancar pada 1987, Fals menyanyikan “Kuli Jalanan” dengan lubang-lubang harmonika sepekat aspal:
Derap langkah dan keringat kuli pembuat jalan
Dengan pengki di tangan kiri, pacul di pundak kanan
Dengus nafasnya terdengar keras bagai suara kereta
Keringat mereka menyengat aroma penderitaan
Kerja keras kau lakukan
Walau upah tak berimbang bak sapi perahan
Comments (0)