Sedikit-dikitnya, Musik Adalah Sebuah Gerakan

Sedikit-dikitnya, Musik Adalah Sebuah Gerakan

Mari kita sepakati bersama bahwa kesenian adalah gabungan antara kreativitas manusia, keindahan, dan kepuasan atau kesenangan secara batin. Demikian pula dengan seni musik. Kita tidak bisa terhindar berbagai asumsi masyarakat urban—yang cenderung awam soal musik—bahwa saat ini (abad millenial) bermusik adalah persoalan menunaikan hura-hura, senang-senang, enjoyment, dan hal-hal lain yang bertendensi kesenangan negatif di mata sosial. Meskipun tidak selamanya atau semua musik demikian, tetapi seringkali musik beriringan dengan bentuk panggung hiburan masyarakat.

Pada bulan-bulan hujan yang tidak pernah dapat dipastikan seperti sekarang, rasanya akan hangat mengenang lagu-lagu Woody Guthrie, musisi yang namanya seperti nyawa hidup di sepanjang ingatan rakyat Amerika karena satu bait lagu berjudul “This Land Is Your Land” (1940). Lagu ini berbau satir dan bicara soal agraria. Menurut beberapa media, lagu tersebut lahir sebagai bentuk sindiran atas properti pribadi yang acap didengungkan dan perlakuan diskriminatif terhadap warga Amerika, yang tergambar pada bagian akhir lagu. Yang jelas, tanpa pusing genre, Guthrie bagi saya adalah salah satu wujud nyata bahwa musik adalah ruang penyampai pesan. Satu lagunya bisa mempersatukan pola berpikir rakyat Amerika, atau bahkan musisi di berbagai dunia. Bahkan setelah itu, lagu “This Land is Your Land” menjadi sebuah lagu wajib serta dikaji oleh semua Sekolah Dasar di Amerika.


Woody Guthrie “This Land Is Your Land” (1940)

Saya tidak menyatakan Woody Guthrie seorang musisi folk, di mana kebanyakan orang menyebutkan bahwa musik folk adalah musik pemersatu kaum protes, atau Bob Dylan musisi folk-blues, atau genre-genre musik lain yang dimaksudkan musik ideal harus seperti mereka. Meskipun saya sendiri tidak terlepas dari mengkaji dengan mendalam lirik-lirik yang Guthrie tulis sebagai salah satu rujukan saya dalam bermusik. Akan tetapi, yang jelas Guthrie dan Dylan menciptakan karya-karyanya bukan sekadar untuk menunjukan seberapa roots lirik atau musikalitas yang akhirnya menjadi ajang bergengsi seperti yang “mungkin” terjadi pada musik hari ini, terjebak pada situasi “meriah dan kesenangan”.

Musik yang lahir dari tangan musisi-musisi seperti Guthrie, Bob Dylan, atau Rodriguez adalah wujud dari musik sebagai media penyampai pesan. Unsur lirik lagu, instrumen musik, nada dan tempo menjadi bahasa simbolik dalam penyampaian pesan tersebut. Akhirnya, lirik lagu dapat berdialetika dengan realita sosial dan sekaligus menjadi inti dari bahasa simbolik yang bermakna estetis. Selain itu, lirik lagu dapat digunakan sebagai bahasa sederhana untuk memahami realitas itu sendiri. Karena itu, lirik-lirik seperti “This land Is Tour Land” mampu merangkum situasi dan solusi sekaligus.


W.R. Supratman - Foto: InfoBiografi.Com

Di Indonesia, gerakan-gerakan demikian juga dilakukan oleh W.R Supratman. Seorang pemuda (usia 21 tahun; 1924) yang gandrung di dunia musik, pada waktu itu mengikuti sebuah tantangan ahli-ahli musik di Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan yang disebarkan melalui majalah Timbul. Lalu, Wage Rudolf Supratman mulai menggubah lagu-lagu dan pada Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda, tepat 28 Oktober 1928 saat penutupan kongres lagu “Indonesia Raya” secara intrumental dengan biola atas saran Soegondo untuk pertama kalinya diperdengarkan di depan umum dan dengan cepat tersebar ke seluruh masyarakat Indonesia. Selanjutnya, lagu tersebut menjadi sebuah lambang persatuan bangsa, di mana selalu dinyanyikan sebelum atau sesudah kongres dan upacara kebangsaan.

Solois yang satu ini merupakan musisi dari kota Malang. Dengan lirik-lirik yang sarat makna, pola vokal yang berkarakter, dan petikan gitar yang unik, Iksan Skuter memberikan warna tersendiri untuk ranah musik independen tanah air.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner