Pentingnya Menjadi Penjelajah Karya, Khususnya di Lirik Lagu Sendiri
Dalam perjalanan memahami sebuah karya, baik karya sendiri atau orang lain, terkadang menemui jenjang level. Di waktu lirik "Eleonora" selesai, saya coba memahami dengan membaca berulang sampai kesal. Baik cerpen Poe yang berjudul sama, maupun barisan kata-kata di lagu itu.
Di level pertama, saya merasakan kegundahan yang sama dengan Poe, ketika cintanya berbentur dengan nilai dan norma. Tulisannya yang sempat tidak menghasilkan, hingga orang-orang yang menganggap dirinya gila karena tema tulisan yang secara konsisten ia angkat. Sedang saya, kegundahan itu berawal dari kebiasaan menulis lirik di malam hari, yang menggangu tetangga (karena genjrang-genreng, berisik di jam mereka tidur), hingga menjadi lagu dan manggung, dapat fee nasi goreng ikan teri (enakkkk), dipandang remeh karena tidak settle, hingga mencoba terus produktif menghasilkan karya.
Namun, tidak sampai di situ saja. Di level kedua, saya menemukan pemahaman baru, bahwa dedikasi Poe terhadap objek kejujurannya di cerpen, membuat dirinya menyanjung cinta dengan berbagai ungkapan menawan, Poe pun bahagia di samping gundahnya. Ketika melihat pemahaman itu, saya pun tergelitik.
Di level ketiga, saya menemukan bahwa kok nyaman ya, ketika di lagu-lagu berikutnya (terkadang secara bersamaan, saya membuat lirik lain) banyak bermunculan kata-kata yang mengekor dan menggunakan bahasan ikan dan cerita perjalanan di laut. Holaspica, tidak pernah secara sengaja, untuk konsisten menyanyikan lagu bertema laut dan ikan. Semua itu karena ulah "Eleonora".
Di level keempat, saya memulai eksplorasi seperti menemui nelayan dan ngobrol ngalur ngidul. Eh, kok analoginya merangkum nilai di kehidupan ya! Ternyata nilai-nilai yang diceritakan pak nelayan tetap bisa menerobos dan menjadi nyawa di beberapa laguku (yang terkadang di lagu tersebut, tidak secara tersurat membahas laut). Apa ini yang dinamakan jodoh pasti bertemu, hehehe.
Comments (0)