Pengamen: Seniman, Musisi, atau Pengganggu? (Bagian 1)

Pengamen: Seniman, Musisi, atau Pengganggu? (Bagian 1)

Beberapa waktu yang lalu, saya sempet denger rame-rame berita tentang peraturan baru di Bandung yang berkaitan dengan kegiatan para pengamen di jalanan. Dikarenakan banyaknya keluhan dari warga Bandung, terutama dari pengguna jalan dan pengguna angkutan umum (angkot atau bus) yang merasa bahwa kehadiran para pengamen tersebut menganggu kenyamanan dan keamanan mereka, maka dari itu, Pemerintah Kota Bandung (?) mengeluarkan aturan “larangan mengamen” di jalan atau angkutan umum. Dari beberapa cerita atau kasus yang saya denger dan alami sendiri, memang banyak kejadian yang menggambarkan bahwa para pengamen ini banyak yang bertindak kurang atau malah tidak baik pada saat mereka sedang “bekerja” (kalau memang mau disebut sebagai bekerja). Terkadang, mereka meminta uang dengan sedikit memaksa, banyak yang malah dalam keadaan mabuk, dengan dandanan yang menurut banyak orang kurang enak dilihat (untuk hal dandanan ini, buruknya, sering dikaitkan dengan gaya hidup dan fashion komunitas punk. Asbun kalau kata saya mah. Sok tahu. Punten aja). Belum lagi, transgender alias waria. Pikirin aja sendiri lah, saya ga mau banyak – banyak ngabahas yang model ginian mah. Parahnya, malah banyak yang sebenernya gak bisa main musik atau nyanyi. Intinya mah mau minta uang aja, supaya gak keliatan ngemis. Ya, bawa gitar lah, atau ukulele. Karena tampang dan tampilannya yang agak kurang bersahabat, dan asumsi bahwa kebanyakan mereka ini adalah “anak punk” atau preman yang liar dan galak, kepaksalah kita kasih uang. Kalau gak dikasih, marah-marah, pukul-pukul kaca atau badan mobil sambil “anjing goblog”, dan lain lainnya. Even worst, sampai ngerusak. Mau dilawan, asa rugi pisan ngalawan nu kitu (rasanya sangat rugi melawan yang seperti itu). Gak dilawan, kesel. Alhasil, kondisi seperti ini sukses membuat nama “anak punk” menjadi sangat buruk. Begitu pun istilah “pengamen” yang seolah-olah adalah pekerjaan yang “memaksa” untuk minta dibayar. PEKERJAAN? Apa bener mengamen itu adalah pekerjaan? Profesi?

Terkait masalah ini, kita balik lagi ke masalah aturan baru tentang mengamen tadi. “Dilarang mengamen di dalam angkot atau bus”(berarti kalau ngamennya di daun pintu mah boleh ya?), atau “dilarang mengamen di lampu merah” (berarti kalau lampu hijau boleh ya? Hahaha...), yang sebenernya saya pribadi masih agak bingung akan beberapa hal.


Pintar-Pintar Bodoh (Warkop DKI – 1980)

Yang pertama, pengertian pengamen menurut pemerintah itu apa sih? Kemaren pas peraturan ini disosialisasi, ada banyak tanggapan dari publik dan juga tokoh masyarakat, terutama seniman. Untuk publik, banyak yang merasa senang, yang mana karena dengan adanya aturan ini, kenyamanan dan keamanan mereka di jalan diharapkan bisa lebih terjaga. Meskipun sebenernya, gak tau juga apakah sosialisasinya nyampe ke semua lini dari target yang dimaksud, alias para pengamennya. Dari pihak seniman, ada sedikit keluhan atau keberatan, karena merasa kebebasan untuk berkegiatan seni menjadi dibatasi. Hmmm... Pengamen = musisi jalanan = seniman... Harus diperinci dan diperjelas biar gak salah kaprah. Nah, kalau begini kan harusnya balik lagi ke permasalahan intinya: sebenernya pengamen atau pemusik/musisi jalanan ini apa sih? Pemusik? Seniman? Profesi? Atau cuma kegiatan iseng (asal cukup untuk beli rokok, arak, dan lem Aibon satu kaleng kecil). Menurut saya, semuanya masih belum jelas. Apa yang dimaksud pemerintah dan publik tentang pengamen ini tampaknya masih belum sepakat pengertiannya seperti apa.


Photo courtesy of: penulispro.net

Bassist of:
Pure Saturday
D'Ubz Bandung
A4/Akustun Band

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner