Panggung Pertama di Lorong Bawahtanah Kota Malang

Panggung Pertama di Lorong Bawahtanah Kota Malang

Anak-anak TSC dan panitia mulai bagi tugas. Ada yang dipaksa dandan rapi jali tiap hari pakai kemeja dan bawa map lusuh keluar-masuk kantor pemerintah dan polisi untuk urus izin keramaian. Yang tampangnya agak serem ditugasi menagih sumbangan dan patungan dari anggota panitia serta band. Yang hobi gambar mulai bikin sketsa pamflet, tiket, ID card dan backdrop panggung. Desainnya langsung disablon sendiri. Yang doyan jalan dan begadang ditugasi keliling kota untuk menyebar serta memasang pamflet bergambar kartun jahat. Ada juga yang rajin mengurus band penampil seolah-olah dia seorang stage manager yang handal. Sisanya standby di sekretariat panitia dalam kondisi siap siaga menjalankan tugas yang lain.

Hingga datanglah hari yang ditunggu-tunggu. Minggu, 28 Juli 1996, Parade Musik Underground (PMU) akhirnya resmi digelar di gedung Sasana Asih YPAC Malang. Tiketnya cuma dua ribu perak. Band yang tampil berturut-turut sesuai rundown adalah: Ritual Orchestra, Knuckle Head, Confusion, Sektor Death, Zombie, Succubus, Radical Squadron, Hippies Local, Glorious Butchered, Brain Maggots, Vindictive Saviour, Satanaz, Mutant, Courvoisier, Sacrificial Ceremony, Obnoxious, Sinner (Surabaya), Grindpeace, Santhet, Ingus, Sekarat, Musyrik, Bangkai, Genital Giblets, No Man’s Land, The Babies, Perish, Slowdeath (Surabaya), dan Rotten Corpse.

Konon ada sekitar 500-an penonton yang hadir dengan sangat antusias, tertib dan penuh totalitas seperti sedang merayakan lebaran kaum underground. Untuk pertama kalinya di kota Malang terjadi konsentrasi massa bawahtanah yang cukup masif. Lengkap dengan dandanan khas dan nyeleneh seperti kaos metal hitam-hitam. Rambut gondrong dan blonde. Rambut mohawk warna-warni hasil karya lem kayu dan zat pewarna kue. Asesoris rantai, peniti serta kalung gembok. Sampai corpse paint dan spike di sana-sini. Semuanya tampak bersenang-senang dan larut dalam euforia musik yang disukai.

Lalu untung berapa panitia? Huh, balik modal aja enggak! Tapi panitia cukup puas dan konon tidak pernah menyesali proyeknya ini. Sejak awal, mereka tahu pasti akan capek dan merugi. Toh ini semua dilakoni dengan tulus demi kecintaan pada musik keras dan komunitas bawahtanah di Malang.   

Justru yang tidak pernah diprediksi adalah acara PMU ini akhirnya menjadi landmark bagi gigs atau festival musik cadas di Malang. Karya sederhana namun ternyata dampaknya cukup penting. Monumental, kata orang-orang. Itu baru bisa disadari kalau kita mau riset berapa anak muda yang akhirnya memutuskan bikin band setelah menonton PMU? Hitung juga berapa banyak bocah-bocah yang akhirnya memutuskan betah dan eksis di komunitas ini hingga sekian lama? Atau berapa komunitas yang akhirnya yakin kalau bikin gigs sendiri itu ternyata mudah dan bisa dilakukan?

Samack lahir dan tumbuh di kota Malang. Sempat menerbitkan Mindblast Fanzine (1996-1998) dan situs musik Apokalip (2007-2010). Tulisannya seputar musik dan budaya pop pernah dimuat di Jakartabeat, The Metal Rebel, Rolling Stone Indonesia, Vice Indonesia, Warning Magz, Whiteboard Journal, GeMusik, serta berbagai media lainnya. Sesekali menjadi editor untuk sejumlah buku dan penerbitan. Saat ini beraktivitas di bawah institusi Solidrock serta mengelola distribusi rekaman bersama @demajors_mlg.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner