Panggung Pertama di Lorong Bawahtanah Kota Malang

Panggung Pertama di Lorong Bawahtanah Kota Malang

Setelah beberapa kali ngobrol bareng di setiap tongkrongan TSC pada akhir pekan di pelataran depan kantor Kabupaten Malang, diikuti dengan rapat sederhana dari rumah ke rumah, akhirnya mereka sepakat membentuk panitia kecil yang bekerja secara sporadis. Mereka sama sekali bukan orang-orang yang berpengalaman di bidang event organizer. Meski segilintir di antaranya pernah mencicipi rasanya bikin event kecil kelas kecamatan atau pensi di SMA-nya masing-masing. Sisanya hanya modal nekat dan dikira-kira saja nanti kerjanya kayak gimana.

Demi memperlancar urusan perizinan dan tetek bengeknya, TSC kemudian terpaksa didaftarkan sebagai organisasi massa yang “resmi” pada arsip Pemkot Malang, melalui Dinas Kesenian atau Pemuda kalau gak salah. Komplit dengan persyaratan AD/ART, susunan pengurus serta mengaku berazaskan Pancasila dan UUD ‘45. Ha. Aneh sih, underground kok dilegalkan. Ya, kalau gak gitu konon akan sulit dapat izin. Maklum itu masih zaman rezim Orde Baru, semua perkumpulan pasti dipantau gerak-geriknya.

Titel acara kemudian diputuskan. Judulnya Parade Musik Underground, disingkat PMU. Simpel dan to-the-point. Meski kalau dipikir-pikir secara jujur sekarang: “Kayak gak ada nama lain yang lebih keren saja!” Sekali lagi, titel yang biasa ini supaya tidak terlalu menarik perhatian atau dicurigai oleh aparat dan pejabat setempat.

Band pengisi acara pun di-list. Ternyata sebagian besar justru berasal dari oknum panitia dan teman-teman di kalangan dalam juga. Seolah-olah ini seperti proyek bikin acara sendiri, main-main sendiri, dan lalu ditonton sendiri.  

Sponsor? Walah, zaman itu mana ada dan kepikir? Distro dan clothing line aja belum lahir. Korporat pun pasti mikir-mikir untuk support acara yang tidak jelas kayak gini. Modal produksi PMU ini murni swadaya dari patungan anggota panitia, bahkan band yang main pun ditodong musti bayar. Anehnya kok malah rebutan yang daftar minta ikut maen.

Semua dana yang masuk langsung ludes untuk alokasi sewa gedung, urus perizinan, sewa sound system, cetak pamflet dan ID card. Selebihnya panitia hanya dimodali oleh semangat dan tekad bulat. Mereka seperti sudah teken “kontrak mati” untuk bekerja keras, rela banting tulang dan begadang. Semuanya saling membantu dengan rasa solidaritas dan pertemanan. Gak akan pernah menyerah. Proyek ini pokoknya harus terwujud, tekad mereka.

Samack lahir dan tumbuh di kota Malang. Sempat menerbitkan Mindblast Fanzine (1996-1998) dan situs musik Apokalip (2007-2010). Tulisannya seputar musik dan budaya pop pernah dimuat di Jakartabeat, The Metal Rebel, Rolling Stone Indonesia, Vice Indonesia, Warning Magz, Whiteboard Journal, GeMusik, serta berbagai media lainnya. Sesekali menjadi editor untuk sejumlah buku dan penerbitan. Saat ini beraktivitas di bawah institusi Solidrock serta mengelola distribusi rekaman bersama @demajors_mlg.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner