Napak Tilas Personal Mengenai Themilo – Wasted Parts (Bagian 1)

Napak Tilas Personal Mengenai Themilo – Wasted Parts (Bagian 1)

Mungkin, banyak orang di luar sana yang mengenal saya sebagai metalhead jika melihat karir bermusik saya bersama DeadSquad dan band-band saya di masa lalu. Ya, medio saya SMP, SMU, sampai masa kuliah memang didominasi genre death metal atau metalcore. Hanya segelintir teman dekat yang tahu bahwa saya sangat menyukai musik indie pop, bahkan sejak saya duduk di bangku Sekolah Dasar.

Pada saat SD, saya tumbuh di era musik alternative dan dibombardir band-band dari salah satu acara TV pada kala itu, “MTV Alternative Nation”. Saat itu, musik Brit-pop memang sedang booming, beberapa tahun sebelum musik ska-booming dalam skala nasional. Rak kaset saya dipenuhi oleh rilisan-rilisan dari The Cure, Blur, Morrissey, The Smiths, Oasis, Suede, Stone Roses, dan band-band lokal dalam benang merah yang sama seperti Pure Saturday, Cherry Bombshell, Rumah Sakit, dan lain-lain.

Pada sekitar tahun 2002, waktu saya menonton program “MTV Wow”, saya dikejutkan oleh salah satu band lokal yang menyuguhkan turunan musik indie pop yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Video klip “Malaikat” dari TheMilo membuat saya bengong, sedikit mengkhayal dan terhanyut dalam nuansa musik ethereal mereka. Tidak lama setelah melihat video klip tersebut, saya langsung berburu kaset TheMilo - Let Me Begin yang dirilis oleh M4AI Records pada tahun yang sama. Kaset itu nyaris konstan berputar di tape player dan walkman saya selama dua tahun. Dari liner notes album tersebut, tertulis referensi dari band asal Bandung itu, seperti My Bloody Valentine, Cocteau Twins, dan Slowdive.


Cover album TheMilo - Let Me Begin

Dari situlah saya mengenal “musik lama yang baru” buat saya. Media melabelkan musik itu dengan genre "shoegaze". Sejak saat itu, pandangan saya akan musik pop berubah, sampai saat ini. Saya mulai berburu rilisan-rilisan yang menjadi referensi TheMilo. Saat itu, sangat susah mencari CD atau kaset dari album-album tersebut. Mengingat semua teman saya adalah kolektor kaset atau CD metal, maka saya harus bergerilya seorang diri mencari album seperti Loveless milik My Bloody Valentine, Souvlaki dari Slowdive dan Blue Bell Knoll yang sangat dingin milik Cocteau Twins.

Karena album yang dirilis 16 tahun lalu dari tulisan ini saya ketik itulah persepsi saya akan musik pop berubah drastis, dan saya makin menyelami sub genre dari indie pop. Saya larut dalam musik shoegaze dan meracuni teman-teman saya yang tadinya hanya mendengarkan musik metal, hardcore, atau punk dengan musik yang saya sangat “into” saat itu. Memang sangat telat, karena shoegaze sendiri telah ada dari awal tahun ‘80an, sejak album Garland dari Cocteau Twins dirilis dan sempat booming di awal 1990an, lewat album Ride - Nowhere, dan album-album dari band shoegaze generasi ‘90 awal seperti Chapterhouse, Moose, Swervedriver, Medicine, Lush, dan lain-lain.

Saya mengenal shoegaze bukan di masa keemasan skena itu bergelora. Wajar saja, karena saya lahir pada tahun 1987. Pada saat musik-musik tersebut booming, saya masih berkutat dengan "mainan" anak pada umurnya . Tapi, di tahun 2002 sampai saat ini, saya berusaha menggali kembali artefak warisan dari era ‘90an awal, seperti rilisan-rilisan Creation Recs, 4AD pada zaman itu. Dan yang paling bertanggung jawab akan ketertarikan saya lebih dalam akan shoegaze adalah TheMilo, proyek yang dinafaskan oleh  Ajie Gergaji sejak dia masih bergabung dengan Cherry Bombshell. Let Me Begin menjadi sepuluh album lokal terpenting dalam hidup saya dan karir musikal saya hingga saat ini sampai masa datang.

Vokalis dari band death metal Ibukota, Deadsquad.
Owner dari minor label dengan genre musik heterogen Alaium Records, fokus merilis album band dalam format kaset.
alaiumrecords@gmail.com
www.facebook.com/alaiumrecords

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner