Musik Intuitif, Jalan Tengah Sebelum Bubar
Benar, proses kreatif itu merupakan persoalan bekerja. Bekerja untuk bagaimana merawat semangat yang baik, dan semangat terbaik adalah untuk belajar dari segala hal yang ada pada telinga, agar segala yang terdengar bersifat baik.
Dalam menempuh proses kreatif, seorang musisi akan menjalani hal paling sakral dalam bermusik sepanjang hidupnya. Kesakralan tersebut adalah self contemplation, masa di mana kita berbicara dengan diri sendiri, berkompromi, menarik atau mengulur ide. Hasilnya akan kita sharing kepada alat-alat musik yang kita pakai. Musik apa yang melekat pada tangan-tangan kita? Musik seperti apa yang seharusnya kita mainkan pada situasi kota yang carut-marut? Lagu-lagu apa yang dapat bertahan dari lekang hippies anak-anak muda? Pertanyaan-pertanyaan inilah barangkali bagian dari self-contemplation tersebut.
Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menggurui atau menawarkan hal-hal yang sifatnya saya anggap ‘perjalanan baik’. Tapi, satu-dua lagu sudah lahir di tengah-tengah Indonesia, di tengah-tengah kota Malang, dan lagu itu memberi pelajaran “Perjalanan Baik”nya masing-masing kepada saya pribadi, khususnya. Seperti seorang anak yang mengadu setiap pulang bermain, bahwa mereka seperti ingin pulang. Di kota Malang, mereka ingin menyusup ke bawah telinga-telinga anak muda, tapi tak mempan. Tidur mereka terlalu pulas.
Comments (0)