Musik Intuitif, Jalan Tengah Sebelum Bubar
Saya membayangkan begini, mereka mandi dengan memperagakan player bass rock, tapi sambil menangis dan membanting gitarnya lalu melepas strip gitar demi keseragaman fashion teman-teman bermainnya. Lagi-lagi, sebuah band bubar karena euforia, tepatnya euforia fashion. Pada situasi demikian, lagu-lagu saya ingin pulang ke dapur rekaman. Pertanyaan-pertanyaan dalam kontemplasi beranak-pinak menjadi luapan emosi. Seharusnya, musik berfungsi lebih dari sebuah ajang bergengsi membentuk eksistensi.
Karena itu, lagu-lagu dan irama dalam beberapa album musik terutama milik saya mengupayakannya pada diri sendiri, bahwa dalam menempuh proses kreatif sedikit-dikitnya melibatkan dimensi ‘intuisi’. Dimensi tersebut akan melatih kepekaan terhadap hal-hal timpang di sekitar kita, sehingga itu bisa menjadi sebuah movement dalam bentuk lagu-lagu, dengan sendirinya musisi akan menciptakan lagu-lagu yang sedang dia gelisahkan, dan genre akan terbentuk dengan sendirinya tanpa mengada-ada. Sehingga musik yang dibawa lebih memiliki value ketimbang sekadar mohon maaf, ‘biar keren maka gue main musik’. Di samping itu bubar-terbentuk nya sebuah band atau album musik tidak akan menjamur di kota-kota dingin, seperti Malang.
Comments (0)