Musik Ekstrim, Antara Tradisi dan Trendi

Musik Ekstrim, Antara Tradisi dan Trendi

Kalau yang tergolong Hipster Black Metal adalah mereka yang menganggap lebih bagus, keren, dan punya kasta lebih tinggi dari band lain, untuk mengundang perhatian publik melalui tampilan mereka yang “unik”, menggunakan musik hanya untuk gaya-gayaan. Dan karena semua alasan itulah yang termasuk ke dalam golongan itu kadang juga disebut sebagai “Posers”, “Scenesters”, atau “Fakes”. Ya, saya akui, semua istilah yang tersebutkan itu tadi masih bisa diperdebatkan dan kontroversial. Sayangnya, selalu ada yang membuat saya gelisah ketika menyaksikan sendiri bagaimana gejolak semacam itu rupanya juga muncul di sini. Dalam kasus yang pernah saya alami, sekumpulan seniman memainkan musik Black Metal berformat midi karaoke, di beberapa pameran seni rupa, namun sejatinya, kepentingan mereka memainkan musik itu tak lebih hanya sekedar memunculkan kesan nyleneh dan nyeni. Black Metal ketika dipanggungkan di tempat yang tidak semestinya memang bisa memiliki banyak kemungkinan pemaknaan. Tetapi tentu saja, itu sah bagi banyak orang, karena pada prinsipnya seni itu bersifat universal.

Dua Tipe Manusia
Perkenankan saya mengajukan argumentasi pribadi yakni bahwa sebetulnya ada dua tipe manusia, jika kita bicara soal musik secara umum, dan musik ekstrim secara khusus di Indonesia.

Pertama, manusia bersifat penikmat. Ini adalah sifat alamiah yang paling dasar. Sudah semacam kodratnya jika manusia butuh hiburan. Saat mendengar musik yang ini, ia merasa enjoy. Saat mendengarkan yang lain, ia juga menganggapnya seru. Semuanya ditelan begitu saja tanpa perlu merasa mengunyahnya dengan baik, atau menambahi asupan-asupan penting. Di ranah musik ekstrim (dan aliran musik yang lain, tentu saja), jelas banyak yang model begini. Mendengarkan sebuah band karena menganggapnya asyik. Tapi yang asyik ini bukan berarti dari segi musikal atau band-nya juga. Malahan bisa jadi karena banyak orang yang ia anggap keren mendengarkan band itu, lalu ia pun terbawa arus. Arusnya memang kecil, tapi lumayan signifikan. Karena yang seperti itu cenderung mencolok, dan tampak sangat beda. Karena berbeda itulah ia bisa terlihat keren, karena keunikan dan kenyentrikannya dibandingkan yang pada umumnya. Tak peduli dari mana dan bagaimana musik itu ia ambil, yang penting ia bisa menikmatinya. Naik ke tataran lebih tinggi lagi, saya menduga jangan-jangan manusia semacam ini juga menikmati kepopulerannya karena faktor unik dan nyentrik tadi. Jelasnya bisa saya kasih pengandaian; ada yang memainkan musik Black Metal yang sangat “cerdas”, dan dinilai di segolongan pendengar di luar komunitas Black Metal itu sendiri. Faktanya, di dalam event-event Black Metal pun tak pernah kelihatan atau manggung. Yang terjadi, mereka muncul di ruang-ruang lain yang terputus secara tradisi dengan komunitas Black Metal, memilih ekslusif. Konyolnya lagi, yang jenis ini justru tak tahu, atau bahkan tak ada usaha mengenal komunitas Black Metal lokal, namun lebih memilih tampil di event-event di luar metal, dengan mengkover lagu-lagu gelap milik Dark Throne, satu band kompak mengenakan baju flannel warna-warninya, atau kalau beruntung, kita bisa melihat salah satu dari personilnya mengenakan jaket kulit yang mengesankan ke-old schoolannya. Dalam hal ini, massa yang selalu ramai mendukung mereka bahkan tidak tahu bagaimana melakukan headbang. Ahahahaha!

Kedua, manusia bersifat pemikir. Ada tipe manusia semacam ini ketika menyikapi atau memperlakukan musik. Ia cenderung lebih selektif, serta secara alamiah punya naluri untuk memaknai dan menggali apa yang ia dengarkan. Kalau itu ternyata cocok, ia masuk ke dalamnya dan turut ambil peran di situ. Kecocokan ini bukan semata persoalan musikal. Bisa jadi karena ada gagasan-gagasan non musikal yang justru menguatkan. Dalam kategori ini, ia sudah melampaui fase sebagai penikmat sesuai pengalaman dan kebutuhan. Bukan semata-mata untuk cari hiburan, tapi punya keberanian dan kemandirian. Karakternya juga semakin kuat karena memperluas wawasan dan pergaulan, berjejaring serta mencoba membuka peluang-peluang baru. Dalam ranah musik ekstrim tentu ada manusia semacam ini. Dan jumlahnya juga tak sedikit. Ibaratnya, menerapkan ilmu padi, semakin berisi semakin menunduk. Makin banyak rumput liar yang tumbuh di sekitarnya, ia seolah tak peduli dan tak terusik, malah semakin kuat, dan pastinya bermanfaat.

Hernandes Saranela

Hernandes Saranela merupakan pembuat film personal di bawah bendera kolektif Cinemarebel Yogyakarta. Vokalis dari band Punk DEMSTER & band Pagan Metal ENUMA ELISH. Juga menjadi pengajar film dan akting di salah satu kampus di Jogjakarta.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner