Merdeka Dalam Bermusik, Merdeka Dalam Berekspresi

Merdeka Dalam Bermusik, Merdeka Dalam Berekspresi

Semua adalah korban di sini. Dan seramnya adalah, semua ini terjadi dengan sendirinya—meskipun mungkin ada yang menginisiasi, kita tidak tahu—tetapi ini telah menjadi satu sistem, yang bergerak atas suatu struktur yang tidak kelihatan. Dalam konteks kasus di atas, musik sebagai elemen, produk dan pra-syarat kemunculan musisi (.Feast) dibantu oleh internet, telah membuat orang-orang berilusi tentang bagaimana seorang musisi harus berperilaku. Musik, yang seharusnya adalah sebuah curahan ekspresi kini bisa menjadi gembok rantai yang melilit tubuh musisi. Kondisi yang sama berlaku sebaliknya. Musik adalah elemen, produk dan pra syarat sebuah identitas (penggemar musik metal), yang seharusnya menjadi sebuah simbol kecintaan dan bahasa seni yang menyatukan, justru menjadi paksaan untuk bertindak represif kepada yang berpandangan berbeda. Menurutku kasus ini juga merupakan satu contoh dari—meminjam istilah Cholil Mahmud—konflik horizontal. Konflik horizontal ini lebih acap terjadi, landasannya seringkali mengada-ngada, dan waktu kita lebih banyak habis berkutat dengannya. Tidak jarang juga konflik horizontal ini diinisiasi oleh kelompok di dalam struktur—yang sifatnya vertikal—sehingga kita lupa untuk melihat konflik umat manusia yang sebenarnya di modern ini, vertikal.

Kabar baik untuk dunia, sebagaimana sebuah sistem yang mengungkung dan menjebak, sistem tersebut pula bisa didobrak dan diakali. Kita bisa melihat sosok-sosok yang memanfaatkan dunia maya untuk keberhasilannya. Baik Negatif dan positif. Negatif karena memanfaatkan amarah yang mudah diarahkan dan kode moralitas yang membingungkan, sehingga menciptakan konten-konten yang membodohi atau memberi makan amarah-amarah itu sendiri. Tapi seenggaknya mereka berhasil. Positif, karena jelas, melihat celah-celah kebaikan di internet—contoh wawasan—dan mengakali potensi-potensi buruk darinya.

Seperti di paragraf-paragraf atas, ku katakan bahwa kebebasan itu sebenarnya ada, kita pakai dengan bijak ruang-ruang kebebasan tersebut. Sekarang kita bisa melakukan apapun yang kita bisa, menciptakan lagu apapun yang kita mau, asal kita bisa tanggung jawab dan tetap berhati-hati, tentunya juga harus cakap memahami permainan internet. Aku lahir besar di pulau Jawa tapi aku bisa menciptakan lagu Eastern Man tentang Papua. Aku bisa mempertanggung jawabkan musik ku dan tentunya aku menciptakannya dengan kadar yang sesuai aku pahami. Aku tidak pernah sebelumnya menjadi aktivis dan akademisi yang terfokus untuk Papua, tetapi aku tahu dan turut resah terhadap apa yang terjadi di sana. Maka Eastern Man adalah sebuah cerita tentang aku yang tertegun kala menonton penampilan musik folk dari orang Papua, yang menyanyikan lagu berlirik kisah pilunya di tanah kelahiran. Begitu juga musisi-musisi hebat lainnya. Kebebasan bermusik akan menjadi sangat indah kalau kita paham cara memakainya, dan tentunya seperti apa yang terjadi oleh .Feast dan kawan-kawan pecinta musik metal, kita juga harus selalu awas dan siap untuk kemungkinan-kemungkinan tersebut.

Karena kemerdekaan pada akhirnya juga merupakan persoalan, bagamana memakai kebebasan itu, bagaimana kita bisa survive di situasi bebas yang semu. Kemerdekaan adalah pembelajaran. Kita sudah merdeka ketika kita sudah bisa belajar perihal apapun, dan bijaksana dalam menggunakan wawasan tersebut.

Eh tetapi balik lagi. Di luar internet kan ada UU ITE, Sensor dan KUHP Pasal Perbuatan Tidak Menyenangkan ya? Ahh. Untuk menutup ini baiknya ku mengutip caption Jason Ranti dalam postingannya 17 Agustus kemarin, “Selamat (Hari Kemerdekaan) buat yang sudah”.

BACA JUGA - Ketika Sastra dan Musik Saling Mencurahkan Dirinya

Oscar Lolang is a folk singer-songwriter from Indonesia. His background as an Anthropology student plus his fondness for Nick Drake, Peter Paul and Mary, Pete Seeger, and Simon & Garfunkel makes him capable to put boldness and honesty in his music. It's depicted since his earlier Soundcloud song (Bila), his first and second single (Eastern Man and Little Sunny Girl), to his first album 'Drowning in a Shallow Water'.

Since he was a child, he has been playing guitar and putting a lot of interest to history, culture, humanism, and folklore. Joined a young record label from Jakarta, Karma Records in late 2015, Oscar has released one demo-album titled Sanctigold (2016), one mini-album titled Epilogue (2017), and a full length album titled Drowning in a Shallow Water (2017). He has collaborated with other fresh names in Indonesian Indie Music Scene like .Feast, The Panturas, Sky Sucahyo, to Efek Rumah Kaca.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner