Merdeka Dalam Bermusik, Merdeka Dalam Berekspresi

Merdeka Dalam Bermusik, Merdeka Dalam Berekspresi

Berbeda dengan masa-masa lalu ketika era penjajahan atau masa dibawah pemimpin yang otoriter, kebenaran ada di luar sana tetapi disembunyikan. Ketika kebenaran itu terungkap, begitu juga kekuatan akan diraih. Kebenaran menjadi sesuatu yang akan selalu dicari. Di dunia internet, di mana manusia dari beragam penjuru sudah terkoneksi, berbagai ragam kebenaran tersedia di sana. Kebenaran beredar dengan bebas dan mudah untuk diraih, sehingga kita pun memiliki kebebasan juga untuk mengakses itu semua. Ketika informasi dan kebenaran semakin mudah untuk diakses, begitu juga unsur-unsur yang mengganggu keutuhan kebenaran itu sendiri. Suatu gejala yang benar adanya, bukan lagi ditutupi, tetapi bisa dipotong sebagian untuk menciptakan kesimpulan yang terkadang menyimpang, bisa didramatisir, bisa di-edit sesuka kita. Yang lalu, adalah sebuah pilihan kita untuk memilih yang mana. Pada akhirnya lagi-lagi kita mempertanyakan kebenaran yang sebenarnya sudah ada di depan mata, kita tidak lagi tahu yang mana yang benar yang mana yang kurang benar, premis tersebut lah artian sederhana konsep yang kita kenal sebagai post-truth, dan kita berada di era itu.

Sebagaimana pula nilai dan kode moralitas. Meskipun berkat keterbukaan dunia internet kita banyak mencapai political correctness, seperti contoh, kita kini jauh lebih paham tentang bahaya rape culture, kita lebih bisa menerima hak hidup kelompok LGBT-Q, di Amerika sana gerakan masif bisa terbentuk karena keresahan yang sama akan rasisme, tetapi ketika semua bisa mencapai political correctness semua juga bisa menjadi polisi, jaksa dan algojo terhadap yang berpendapat sebaliknya.

Ketika political correctness yang sebenarnya adalah salah satu jalan untuk mencapai keharmonisan umat manusia, untuk mencapai kehidupan yang damai bersama, amarah-amarah yang tertuang diinternet itu justru menjadikannya menyeramkan. Yang menjadikan lebih menyeramkannya adalah seberapa cepat warga daring bertindak dan menghukum secara sosial ketika ada satu gejala dan kejadian yang mencuat di sana. Padahal, balik ke paragraf sebelumnya, kebenaran yang kita dapat kerap kali hanya sepotong atau sudah diedit. Menyedihkannya, kita bahkan belum sempat untuk mencerna dan mengkaji informasi dan kebenaran yang kita dapat. Contoh saja fenomena Justice for Audrey berapa tahun silam. Baik kebenaran maupun moralitas semakin buram karena ‘kemerdekaan’ di dunia internet yang menjebak ini.

Hal yang sama bisa sekali terjadi di dunia musik. Aku akan mengambil contoh satu kasus yang mana aku akan bersifat sangat netral. Yaitu kasus grup band rock .Feast dan kelompok penggemar musik Metal. Masalah ini berawal dari statement vokalis .Feast, Baskara Putra, di suatu interview yang konon menista musik metal. Entah siapa yang memulai, potongan dari video interview dan statement tersebut menyebar luas tanpa konteks. Kemudian baik .Feast maupun Baskara secara personal di hukum habis-habisan oleh Netizen. Tidak ada celah untuk mereka berekspresi di luar itu. Semua postingannya di serang, obrolan di comment section selalu kembali ke kasus tersebut. Baskara dan .Feast kini bukan lagi musisi dan band tetapi pihak yang bersalah. Massa penggemar musik metal adalah pihak yang dirugikan. Internet adalah algojonya.

Kawan-kawan musik metal juga bukan pelaku di sini. Mereka justru korban atau pion dari buram dan arbitrernya makna kebenaran, kode moralitas dan nilai di dunia maya. Amarah mereka kemudian seperti diarahkan, dan kemudian menjadi satu amarah yang semu. Aku tidak katakan amarah itu tidak nyata, pasti ada banyak pihak yang benar-benar tersinggung dengan statement tersebut, akan tetapi banyak pula mereka yang tidak mengenal ke dua nya baik musik metal maupun .Feast yang turut geram hanya karena mereka seperti diikat oleh kewajiban untuk ikut menghukum salah satu pihak. Ini macam dua belah mata pisau untuk para metalhead, mereka resah dan marah tentunya, tetapi ini juga berpeluang bagi kelompok dan musik yang mereka cinta memiliki citra negatif atau berbalik diserang, kalau masalah ini tidak berujung seperti apa yang mereka ekspektasikan. Sebagaimana dunia internet, ini sangat mungkin terjadi. Masalah ini kemudian ditutup oleh .Feast meminta maaf. Ini menurutku adalah akhir yang sebenarnya menyedihkan, terutama ketika kita berbicara tentang kemerdekaan dalam ekspresi. Sampai titik .Feast meminta maaf, kita tidak pernah paham kebenaran dan makna statement kontroversial tersebut dan landasan moralitas apa yang memancing keributan tersebut. Dengan begitu, kemerdekaan untuk .Feast dalam konteks satu kasus ini, sama sekali tidak berlaku.

Oscar Lolang is a folk singer-songwriter from Indonesia. His background as an Anthropology student plus his fondness for Nick Drake, Peter Paul and Mary, Pete Seeger, and Simon & Garfunkel makes him capable to put boldness and honesty in his music. It's depicted since his earlier Soundcloud song (Bila), his first and second single (Eastern Man and Little Sunny Girl), to his first album 'Drowning in a Shallow Water'.

Since he was a child, he has been playing guitar and putting a lot of interest to history, culture, humanism, and folklore. Joined a young record label from Jakarta, Karma Records in late 2015, Oscar has released one demo-album titled Sanctigold (2016), one mini-album titled Epilogue (2017), and a full length album titled Drowning in a Shallow Water (2017). He has collaborated with other fresh names in Indonesian Indie Music Scene like .Feast, The Panturas, Sky Sucahyo, to Efek Rumah Kaca.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner