Mengurai Kembali Pita-Pita Kaset

Mengurai Kembali Pita-Pita Kaset

"...British Phonographic Industry pernah menggagas kampanye "Home Taping is Killing Music" di era 80-an. Dua dekade kemudian, kita membaca kalimat yang nyaris sama, “Illegal Downloading is Killing Music Industry”.

Same bullshits, different era, yeuh?!"

Hari ini, kita memang tidak perlu kaset lagi untuk membikin mixtape. Kita cukup punya akun di Spotify, 8Tracks, Soundcloud atau YouTube untuk bikin mixtape atau tepatnya playlist. Itu semua sudah bisa terpublikasikan ke seluruh planet melalui jaringan internet. Jika ingin lebih personal, tinggal memindahkan file lagu-lagu mp3 favorit anda lalu kopi ke flashdisk atau burning ke dalam CD kosong. Kemudian hadiahkan kepada teman, sahabat atau kekasih. Selesai.

Sejumlah band underground dulu kerap bawa-bawa walkman (portable tape recorder) dalam sesi latihan rutin di studio musik. Mereka main beberapa lagu dan merekam materinya melalui walkman tersebut. Awalnya, hanya untuk didengarkan sendiri pasca latihan di rumah. Sebagai bahan evaluasi bagi mereka sendiri, mungkin.

Tapi tidak lama kemudian, band-band itu nekat merilis hasil rekaman latihan studionya tadi dalam format album khusus dan didistribusikan kepada khalayak. Mutunya tentu masih kasar dan berkualitas rendah. Ini yang kemudian akrab kita sebut dengan istilah rehearsal tape, rekaman sederhana untuk merayakan bebunyian musik yang live and raw!

Bukan itu saja. Proses merekam musik di kala band sedang manggung pun jadi kebiasaan unik tersendiri. Di zaman itu, menitipkan kaset kosong kepada operator FOH atau menyelipkan walkman di atas panggung cukup membudaya. Buat kenang-kenangan, alasannya. Padahal kualitasnya nanti juga gak bagus-bagus amat. Keisengan itu akhirnya meluas dan dikenal dengan istilah rekaman live bootleg.

Aktivitas tadi mungkin tak ubahnya dengan anak-anak muda sekarang yang doyan mengeluarkan smartphone, merekam video musisi idola, dan kemudian mengunggahnya di kanal YouTube atau Instagram. Ya, mirip sekali.

Fenomena mixtape dan bootleg itu pula yang sempat bikin para elit industri musik (baca; label rekaman major) ikut geram, hingga akhirnya British Phonographic Industry pernah menggagas kampanye "Home Taping is Killing Music" di era 80-an. Dua dekade kemudian, kita membaca kalimat yang nyaris sama, “Illegal Downloading is Killing Music Industry”.

Same bullshits, different era, yeuh?!

Usai era berburu dan meramu kaset-kaset band idola dari dalam dan luar negeri, saatnya tiba bagi band-band so-called-underground untuk merekam demo / album dengan semangat do-it-yourself dan dirilis sendiri dalam format kaset. Sebut saja nama seperti Sacrilegious, Jasad, Sonic Torment, Pas, Puppen, Grausig, Tengkorak, Waiting Room, Betrayer, Death Vomit, Slow Death, No Man's Land, Ingus, Rotten Corpse, Antiphaty, Begundal Lowokwaru, dan masih banyak lagi.

Tepat saat itu juga, label-label rekaman kecil pun mulai bermunculan. Sepertinya misalnya Palapa Records, Riotic Records, Confuse Records, Graveyard Records, ESP, Rottrevore Records, FFWD, Harder Records, THT Prod, Edelweiss Records, dan masih banyak lagi.

Kejadian ini marak jelang akhir era ‘90-an hingga memasuki paruh awal 2000-an. Menjangkiti pada semua lini komunitas dan skena musik independen / underground, mulai dari genre besar metal, hardcore, hingga punk – beserta segala jenis subgenre-nya.

Semua band yang aktif dan punya stok lagu cukup mulai tergiur untuk mencoba rekaman. Dengan modal nekat, patungan, dan semangat mengarsipkan karyanya dalam bentuk fisikal, mereka rela merekam materi musiknya dalam sesi live recording di studio musik biasa. Proses rekaman analog dengan master tape atau pita DAT itu diduplikasi secara sederhana ke format kaset, untuk kemudian dijual secara hand-to-hand ke komunitasnya atau melapak pas kebetulan ada gigs.

Samack lahir dan tumbuh di kota Malang. Sempat menerbitkan Mindblast fanzine (1996-1998) dan situs musik Apokalip (2007-2010). Tulisannya seputar musik dan budaya pop pernah dimuat di Jakartabeat, The Metal Rebel, Rolling Stone Indonesia, Vice Indonesia, Warning Magz, Whiteboard Journal, GeMusik, serta berbagai media lainnya. Sesekali menjadi editor untuk sejumlah buku dan penerbitan. Saat ini beraktivitas di bawah institusi Solidrock serta mengelola distribusi rekaman bersama @demajors_mlg.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner