Mengapa Saya Menggawat-gawatkan Black Metal? (Bagian 1)

Mengapa Saya Menggawat-gawatkan Black Metal? (Bagian 1)

Di tulisan sebelumnya, saya sempat bercerita sedikit soal pengalaman awal berjumpa dan turut membentuk komunitas bawah tanah yang akhirnya berlabuh ke black metal. Dan untuk benar-benar membawakan spirit yang dibisikkan oleh mendiang gitaris Mayhem tadi ke sini, jelas mustahil. Black metal adalah sebuah teror di Indonesia? Owsyit men.. Boro-boro mau memuja setan di sini, tidak ikut merayakan hari raya tahunan saja sudah dikucilkan keluarga.

Mau sedikit saja bertingkah subversif malah diteror oleh kerumunan terdekat. Realitas seperti itu sudah jamak, dan barangkali sangat sedikit di antara kita yang mau mengakuinya. Mau seekstrim apa pun penampilanmu, gaya manggungmu, isi pikiranmu, apa yang kamu tuturkan, lagi-lagi kepentok sama urusan norma, etika, adat, dan tradisi. Bukannya tidak ada yang dengan keberanian atau kenekatannya keluar dari semua itu, dan di saat bersamaan menjalaninya dalam kerendahhatian. Tidak sekadar berkoar di media sosial dan di keseharian bersikap ambivalen.

Yang sedang dan masih berlangsung tentang black metal—yang harus satanik atau anti apa lah itu—tak lain merupakan proses identifikasi dan labelisasi media. Akan terasa lebih konyol jika pengaruh tersebut malah diamini dalam wujud parade simbol oleh mereka yang mengaku sebagai pelaku skena; tanpa rasa ingin tahu memahami apa yang sedang mereka lakukan itu.

Misalnya begini, Dead dan rombongannya di Mayhem tak pernah menggunakan corpse paint, melakukan ritual mengubur kostumnya di tanah sebelum dipakai pentas, atau menancapkan bangkai binatang saat manggung, tetapi masih memainkan musik dan lirik yang sama. Apakah mereka bakal dianggap sebagai pionir black metal?

Entah banyak yang sengaja menutup mata atau tak paham bahwa kehadiran skena ini di awal ‘90-an langsung jadi santapan media-media. Sisi gelap musik keras ini beserta segala kebengisannya ditonjol-tonjolkan terutama kasus pembunuhan dan pembakaran sejumlah gereja. Dalam sebuah kutipan di Raginpit Magazine edisi Maret 2010, Varg pernah membeberkan satu hal, bahwa polisi sebenarnya sudah menyediakan sejumlah saksi yang melihat dan mendokumentasikan dirinya sedang berada di luar gereja-gereja yang terbakar. Tak hanya itu, Varg mengakui bahwa pihak kepolisian dengan sengaja menggunakan media sebagai alat legitimasi penghakiman dirinya. Namun, kita juga ingat kan bagaimana ekspresi wajah pemilik nama Count Grishnackh ini saat ditangkap aparat?


Varg Vikernes - Foto: www.discogs.com

Sepertinya Varg, dan begitu juga Euronymous, sadar bahwa untuk menarik perhatian publik mainstream, harus ada yang dilakukan. Media selalu menyukai hal-hal sensasional. Kalau perlu, semua mesti dihubung-hubungkan supaya apa yang sedang dijual itu laris manis. Persoalannya, yang sensasional itu cenderung bersifat negatif dan membahayakan. Apa daya, mereka cuma tinggal di sebuah negara yang meski bagian dari Barat, bukan menjadi kiblat atau barometer musik dunia. Sehingga, wajar kalau sampai ada asumsi bahwa mereka mempraktikkan segala teror itu supaya apa yang sedang mereka tawarkan dari musik bisa dilihat lebih banyak orang.

Tapi, apakah yang mereka lakukan itu demi black metal sebagai musik belaka? Saya tadi sudah menyebutkan bahwa black metal adalah sebuah pergerakan. Setidaknya, jika kita tempatkan konteks kemunculan subgenre metal ini, pergerakan yang semacam apa?

Hernandes Saranela

Hernandes Saranela merupakan pembuat film personal di bawah bendera kolektif Cinemarebel Yogyakarta. Vokalis dari band Punk DEMSTER & band Pagan Metal ENUMA ELISH. Juga menjadi pengajar film dan akting di salah satu kampus di Jogjakarta.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner