Mencari Koneksi Antara Musik dan Font

Mencari Koneksi Antara Musik dan Font

Penggunaan Font yang Sama

Cukup lama mencari jawaban atas pertanyaan saya tentang mengapa band-band era sebelum computer menggunakan banyak font yang sama. Supaya gak tedengar sotoy, untuk menjawab ini, saya coba diskusi dengan Gilang Purnama, salah satu pendiri Type Foundry asal Bandung, Ephemera Fonts.

Opini Gilang, kenapa band sebelum era computer umum sekali menggunakan font yang sama itu bisa disebabkan karena dua hal. Pertama, adalah karena teknologi yang terbatas. Dulu, jauh sebelum era digital computer muncul (Macintosh 128k baru dirilis tahun 1984), di era 60-70an kalau ada band yang mau bikin untuk keperluan grafis, baik layout, sampul album, poster dan sejenisnya memakai teknologi bernama phototypesetting

Era itu perusahaan phototypesetting besar di amerika jumlahnya tidak banyak. Mungkin salah satu yang paling terkenal adalah perusahaan Photolettering INC. Jika ada band yang ingin mencetak dengan teknologi ini, tentu harus lah punya modal yang besar. Maka dari itu, pada era itu banyak band yang mempercayakan segala urusan grafis ke pihak label. Selain tidak punya basic desain yang mumpuni, label rekaman sepertinya lebih punya akses dan punya modal untuk bekerja sama dengan perusahaan jasa phototypesetting.

Kenapa font yang dipilih bisa sama? Karena katalog font yang tersedia di perusahaan itu sangat-sangat terbatas. Jadi, si band terpaksa memilih jenis font yang hanya disediakan oleh mesin phototypesetting tadi, termasuk untuk logotype si band itu sendiri. Kemungkinan band A dan band B memilih typeface yang sama pasti ada. Karena ketersediaan si font di katalog mungkin hanya puluhan. Tidak ribuan seperti sekarang.

Sampul album di era 60-70an menggunakan font yang identik karena pilihan font yang terbatas

Faktor Kedua, mengapa bisa sama adalah karena band-band yang memang terpengaruh untuk memilih font yang sama dengan band-band pendahulunya. Hal ini marak terjadi di era ketika perangkat Letraset muncul. Letraset adalah perangkat huruf yang dapat dipasang dan diangkat pada lembaran kertas atau bahan lain. Biasanya di atas kertas minyak atau kalkir berisi semua huruf dan specimen yang ada dalam sebuah font.

Munculnya Letraset seakan mendobrak bisnis phototypesetting yang super mahal, karena semua orang bisa punya dan harganya relatif terjangkau. Dalam film Graphic Means: A History of Graphic Design Production (2017), diceritakan bahwa munculnya Letraset bisa memicu hadirnya DIY printing and published mulai dari sampul album, poster acara, dan zine karena semua orang bisa beli Letraset dan bikin teks sendiri (tidak lagi oleh perusahaan).

Letraset memicu orang untuk membuat cetakan sendiri. Mulai dari cover, zine, sampai poster bisa dibuat tanpa ada campur tangan perusahaan phototypesetting

Band-band pada era itu, selain karena memang pilihan font yang terbatas dan alasan estetik, mereka juga mempertimbangkan untuk mirip dengan band yang pionir dari genre yang mirip. Contohnya Gorilla Biscuits yang tertarik untuk mengikuti SS Decontrol atau band-band psychedelic yang seragam menggunakan font bertema Art Nouveau.

Pas saya tanya Prabu kenapa dia sendiri milih Franklin untuk Saturday Night Karaoke, ternyata alasannya sama:

“Simple tapi kalau dikulik penempatan dan anglenya, bisa jadi unik, lucu, dan sruntulan. Awalnya sama, pasti terinspirasi Descendents atau Ramones, tapi pas styling-nya diputer sedikit huruf per huruf supaya ngasih kesan yang baru. Edan si Franklin” kata Prabu.

Berbicara soal musik, pasti tidak akan pernah lepas dengan elemen lain yang mendukung. Sebagai band, mengulik elemen visual (termasuk font) adalah sesuatu yang cukup penting. Saya adalah orang yang percaya bahwa musik bukan sekadar hidangan untuk telinga, tapi untuk semua panca indra (tapi indra pengecap masuk gak ya? hehe). Bayangkan saja kalau karya musik tanpa artwork yang menempel, kayaknya mustahil deh karya itu bisa mudah diingat. Mungkin ini  Karena kita butuh memuaskan mata dan indra lain selain telinga.

Surya Fikri Asshidiq

Kelahiran asli Sumedang. Pengennya kerja full time jadi musisi, tapi sekarang masih sampingan ngedesain untuk menyambung hidup. Dia adalah orang yang bertanggung jawab dibalik semua departemen visual The Panturas. Kadang suka keteteran, tapi seneng aja.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner