Membunuh Diri Perlahan dalam Kenyamanan: Sebuah Catatan Kaki dari Where Do We Go

Membunuh Diri Perlahan dalam Kenyamanan: Sebuah Catatan Kaki dari Where Do We Go

Betapa asyiknya jika kita bisa mencantumkan “Undergrounder sebagai keterangan profesi di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Demikianlah gagasan dari seorang metalhead senior dalam sebuah tulisan di zine lokal dan bertahun-tahun menginspirasi tapi baru bisa saya wujudkan beberapa tahun kemudian.

Apa sihUndergrounder itu? Seberapa penting kah menyematkannya sebagai simbol identitas yang bersifat administratif? Sebenarnya, bukan itu poin utama yang saya kehendaki di sini. Tapi, baiklah. Saya kira, penting juga cerita tentang hal tersebut demi mengantarkan pada narasi di mana saya akhirnya berpijak sampai hari ini.

Asumsinya sangat sederhana. Kalau kita berhasil melakukan pendekatan yang, katakanlah, intim kepada petugas kecamatan yang berwenang, dengan segala argumentasi meyakinkan, perkara menuliskan “Undergrounder di kolom profesi tentu bisa jadi hal yang mudah. Lagipula, waktu itu prosedur pembuatan KTP tidak bisa dibayangkan seperti sekarang. Maka jadilah. Seminggu kemudian, rasa bangga saya memuncak karena secara resmi, alias diakui oleh Negara, saya menenteng predikat sebagai “Undergrounder.

Gagasan dari tulisan metalhead senior itu pun akhirnya jadi kenyataan. Sekitar tujuh tahun berselang, saya berjumpa dengan metalhead senior itu; Adrin Nugraha. Beliau lah yang secara tidak langsung mengajarkan prinsip-prinsip underground kepada saya hingga menjadi seperti sekarang.

“Lihat, ada seseorang yang sudah mewujudkan gagasanmu, dan itu adalah aku.”

Saat melihat KTP yang saya tunjukkan, ekspresinya setengah tak percaya. Setelah itu, hubungan kami semakin hangat. Hari ini, di usia yang tak lagi muda, semangatnya membara ketika menyemangati saya supaya tetap konsisten dalam dunia metal, lebih spesifik lagi, black metal, dan terus menghirup dan menghembuskan semangat di sebuah ekosistem yang selamanya disebut underground; bawah tanah.

Where Do We Go?
Lalu, kalau sudah sampai di sini, di ekosistem tersebut, atau bahasa menterengnya adalah “subkultur, dengan bekal KTP tadi, mau ke mana? Kita sederhanakan saja: mau ngapain? Bikin band? Rilis album? Manggung? Bikin film dokumenter?

Alasan saya sangat jelas. Menjadi “Undergrounder artinya menjadi manusia yang punya kepedulian menjaga “dunia bawah tanah” agar tetap konsisten di jalurnya. Selalu ada sesuatu yang sedang diperjuangkan dan diupayakan untuk skena ini. Anggap saya berlebihan, namun underground adalah jiwa. Bagaimana jiwa ini ada di saat skena berjaya, terpuruk, lalu bangkit kembali seiring berseliwerannya band-band “indie mainstream” yang mengusung genre metal lewat segudang teknikalnya.

Menjadi “Undergrounder bukan lah semata soal album yang sudah kita rilis, laris manis, dan paling sial menjadi populer alih-alih serba kompromi. Barangkali, saya juga sedang menghadapinya. Sudah 15 kota saya tandangi demi pemutaran film dokumenter “Where Do We Go” (WDWG). Dari seri pertama yang rencananya termaktub sebagai trilogi dokumenter (pergerakan) black metal di Indonesia itu, saya harapkan bisa membuka ruang-ruang baru bagi kawan-kawan entah dalam wujud diskusi, perdebatan, dan tentu saja karya.


Poster film 'Where Do We Go'

Sebagai salah satu dari sekian banyak metalhead yang nampak sedikit di ranah black metal, film ini menjadi semacam narasi kegelisahan panjang saya perihal perkembangan musik black metal di sini. Setelah sempat menikmati kemesraan beberapa tahun bersama musik punk, kesukaan saya bertambah saat berkenalan dengan subgenre black metal, sebuah aliran yang memiliki kesan gelap dibumbui tampilan yang seram, lengkap dengan segala simbol yang mengikutinya. Dalam hal ini, bahkan sampai sekarang, nyaris setiap hal yang berbau black metal masih menjadi kontroversi. Kejadian-kejadian di awal berkembangnya black metal di Eropa yang kerap diindentikan dengan pergerakan Satanisme, membuat perkembangannya di Indonesia juga disertai banyak penolakan.

Musik ini (sebenarnya juga termasuk musik ekstrim lainnya), dianggap sebagai perusak budaya Nasional. Pengalaman yang ada, tulisan-tulisan di media yang selalu menyudutkan, dan pola-pola yang kemudian banyak diadopsi mentah-mentah oleh band-band lokal semakin menguatkan stigma itu. Tapi, apa betul demikian? Jelas tidak. Yang namanya stigma, stereotyping, labelling, dan sejenisnya itu hukumnya wajib untuk kita gugat. Karena itu lah, proyek panjang film dokumenter ini masih saya kerjakan.

Adalah Doni Wicaksonojati, seorang metalhead asal Kediri, personil dari band Immortal Rites yang membaktikan diri untuk musik metal sejak tahun 1995, telah merintis beragam aktivitas terkait mulai dari pembentukan band, berjejaring dengan komunitas, dan sebagainya. Saya terlibat kontak dengannya saat dia menjadi salah satu narasumber untuk film itu. Secara spesifik, musik yang ia geluti adalah black metal. Ketika banyak orang di luar sana yang juga memainkan musik serupa berdasarkan beragam alasan, pada prakteknya Doni membawa musiknya tidak hanya sebagai media ekspresi, melainkan juga sebagai alat literasi, dalam hal ini adalah keinginannya untuk memperkenalkan akar warisan Budaya Jawanya.


Immortal Rites - Foto: Official

Memadukan antara musik black metal dengan konsep-konsep tradisi Jawa Kuna, Doni tak sekadar menjadikannya sebagai tempelan untuk kepentingan artistik atau bahkan komersil. Ia benar-benar menjalankan praktik literasi dari warisan akar Budaya Jawa itu melalui aktivitas rutin pengenalan aksara Jawa yang sudah punah. Komitmennya dibuktikan sedari lama, dengan salah satunya sering menjalani napak tilas ke situs-situs Jawa Kuna, mendokumentasikannya, menelusuri prasasti, dan mengenalkannya kepada generasi muda. Aktivitas Doni pun tergabung dalam komunitas yang memperkenalkan aksara Jawa Kuna ini para generasi muda, dan menariknya lagi mendapatkan dukungan dari Dinas Kebudayaan setempat meski sifatnya belum formal. Dukungan tersebut salah satunya berupa penyediaan fasilitas tempat belajar.

Program yang dijalankan oleh Doni dan kawan-kawannya pun diselenggarakan bukan hanya di satu wilayah, tapi bergantian di beberapa kota, memperkenalkan dan terus menggali warisan tradisi budaya Jawa Kuna, yaitu aksara yang sudah lama punah, selama sebulan, sampai hari ini. Ini adalah bukti nyata dari komitmen sebagian kaum muda yang berupaya mengangkat kembali nilai-nilai tradisi warisan leluhur jauh sebelum kata “Indonesia” dicetuskan. Menguatkan pemahaman sejarah tradisi dan budaya dalam kerangka mencerdaskan generasi muda Indonesia melalui pengenalan dan pemahamannya dari bidang yang ia geluti dan sukai, yaitu musik metal.

Black metal yang selama ini masih dikaitkan dengan aksi-aksi penentangan terhadap gereja di Norwegia setelah beberapa pendirinya melakukan aksi pembakaran gereja, kini telah berkembang menjadi macro genre yang beberapa di antaranya sudah benar-benar keluar dari root asalnya, baik secara musikalitas maupun pakem-pakem pemanggungannya. Hal itu juga berkembang dalam skena metal kita.

Beberapa mengundang pro-kontra. Salah satunya, yaitu isu “pocong”, fenomena band yang mengatasnamakan diri sebagai band black metal, tetapi menggunakan atribut pocong dan sejumlah image hantu lokal pada setiap pementasannya, yang tentu saja sangat berbeda dengan tampilan awal di Eropa yang menggunakan spike, dan riasan mayat atau corpse paint. Sementara, bila kita lihat, lirik yang ditampilkan “band-band pocong” ini cenderung mengenai ajakan untuk berbuat kebaikan. Jika menilik ke sisi musikalitasnya juga tidak sedikit yang keluar dari pattern sound ala black metal.

Kebiasaan mereka membawakan irama bernuansa Javanese membuat stigma bahwa semua band yang mengusung tema Javanese mendapat perlakuan sama. Di sini lah kemudian bisa saya melihat bagaimana Doni dengan spirit Javanese yang didapat dari keluarganya mengukuhkan secara tegas bagaimana memaknai Jawa tidak hanya untuk kepentingannya dalam bermusik saja.

Hernandes Saranela

Hernandes Saranela merupakan pembuat film personal di bawah bendera kolektif Cinemarebel Yogyakarta. Vokalis dari band Punk DEMSTER & band Pagan Metal ENUMA ELISH. Juga menjadi pengajar film dan akting di salah satu kampus di Jogjakarta.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner