Lebih Enak Menjalani Karir Solo Atau Ngeband?

Lebih Enak Menjalani Karir Solo Atau Ngeband?

Format solo ini banyak juga yang ditampilkan dengan kehadiran band pengiring. Bedanya, semua ide dan konsep mungkin dikomandoi oleh si solois itu sendiri. Lain halnya ketika dia berada dalam sebuah band yang mengharuskannya menarik ego cukup dalam demi menjaga ‘keharmonisan’ di tubuh bandnya

Sederhananya sebuah kelompok musik (dalam konteks ini band-red) merupakan kolektif yang dibuat dengan pengerucutan esensi dan estetika karya yang sejalan dari masing-masing personilnya. Visi misinya jelas dan tujuan yang ingin dicapainya pun sejalan, entah itu untuk terkenal, mendapatkan penghasilan, atau hanya sekedar untuk bersenang-senang menyalurkan energi berlebih dari kecintaan mereka terhadap musik. Meski dijabarkan dalam bermacam tujuan, namun yang digaris bawahi disana adalah tentang tujuan yang sejalan. Maka ketika ada salah satu personil yang tidak lagi memiliki tujuan yang sama, beberapa diantaranya ada yang memilih hengkang dan bergabung dengan kelompok musik lainnya, atau justru memberanikan diri untuk menjalani karir solo.

Ada banyak sekali contoh musisi yang awalnya tergabung dalam sebuah band, lalu kemudian memilih keluar dan menjalani karir solo. Nama-nama musisi besar seperti Chrisye hingga Iwan Fals pun dulunya tergabung dalam sebuah band. Chrisye misalnya. Penyanyi yang mempunyai kekhasan suara yang melenakan ini dulunya merupakan seorang bassis dari band Sabda Nada (yang kemudian hari berganti nama menjadi Gipsy). Atau Iwan Fals misalnya. Jauh sebelum Bang Iwan tergabung dengan band Kantata Takwa dan Swami, Iwan merupakan anggota kelompok musik Babadotan bersama dengan Gugum dan Egi Fedly. Pendekatan musik country dengan lirik yang jenaka bersama Babadotan, kemudian membawa Iwan merilis album berjudul Yang Muda Yang Bercanda dan album Canda Dalam Nada, pada tahun 1978 dan 1979. Hingga kemudian Iwan dikenal dengan lirik-lirik lagu protes yang kontroversial saat itu.

Ada semacam zona nyaman yang dirasakan para musisi ini ketika akhirnya menjalani karir sebagai solo artis. Tidak jarang pula ada sesuatu hal yang mungkin tidak bisa mereka tuangkan di band terdahulunya, namun ketika tampil solo mereka bisa mencurahkan hal tersebut lebih leluasa. Bicara band tentu saja berhadapan dengan banyak kepala, di mana hal itu mungkin secara prose kreatif banyak berbenturan pula satu sama lainnya. Maka ketika akhirnya dia hengkang untuk memilih jalan sebagai solois, gesekan atau benturan tersebut tidak kentara terasa, karena semuanya berpusat pada dirinya sebagai individu kreatif yang bermusik.

Keunikan solois ini dapat dirasakan pula dengan warna yang berbeda ketika dia berada di bandnya dan ketika dia menjalani karir solonya. Misalnya saja Baskara Putra yang tenar dengan moniker bernama Hindia. Ada sesuatu yang lebih personal yang ditawarkan Hindia, dibanding ketika dirinya berada di band .Feast. Pendekatan lirik personal ini dapat dirasakan dengan penulisan lirik dan musik yang lebih sederhana namun terasa intens dibanding .Feast dengan semua kompleksitasnya. Dalam karir solonya, Baskara atau Hindia ini seolah melepaskan kecenderungan gaya menulisnya di .Feast yang mungkin pretensius dan terasa ‘berat’ karena banyak mengangkat isu-isu panas yang terjadi di tanah air. Sedangkan di Hindia dia hanya menuliskan ‘jurnal hariannya’ saja, dari mulai perkara susah tidur hingga mengenang nama-nama yang terkasih di lagu “Rumah ke Rumah”.

Format solo ini banyak juga yang ditampilkan dengan kehadiran band pengiring. Bedanya, semua ide dan konsep mungkin dikomandoi oleh si solois itu sendiri. Lain halnya ketika dia berada dalam sebuah band yang mengharuskannya menarik ego cukup dalam demi menjaga ‘keharmonisan’ di tubuh bandnya. Ketika hadir dalam format solo, agaknya menjadi ‘idealis’ dengan mengedepankan ego bermusiknya bukan sesuatu yang haram dilakukan, dan bahkan untuk beberapa alasan hal itu mungkin perlu dilakukan agar pendengar bisa tahu seperti apa warna asli dari si solois tersebut.

Tarik mundur ke tahun 2000an awal ketika lagu “Kepompong” dari Sindentosca merajai tanggu lagu di mana-mana. Dalam sebuah wawancara disebutkan jika pada awalnya Sindentosca merupakan sebuah band yang digawangi oleh Jalu dan beberapa temannya, sampai kemudian hal tersebut berubah ketika Sindentosca hanya menyisakan Jalu sendirian. Uniknya, nama Sindentosca tetap dipakai dan kemudian berubah menjadi moniker dari Jalu. “Sindentosca gak mungkin bubar karena personilnya cuma sendirian”, ujar Jalu suatu hari sambil terkekeh.

Jika dihadapkan pada pertanyaan “lebih enak menjalani karir solo atau ngeband?”

Maka jawabannya bisa beragam dan masing-masing pilihan punya plus minusnya sendiri. Ngeband misalnya. Karena sebuah band terdiri dari beberapa kepala, maka kreativitas yang dibangun di dalamnya bisa beragam dan kaya karena menampilkan banyak warna dari masing-masing personil. Sedangkan ketika memilih solo, mungkin kreativitas bermusiknya hanya berpusat pada satu orang saja. Kalau pun memilih menggunakan jasa produser musik agaknya tetap saja semua keputusan akan estetika karya yang ingin disajikan bergantung pada keinginan si solois itu sendiri. Plus-nya mungkin bisa lebih leluasa menentukan arah kreativitas musiknya. Tapi, balik lagi, semuanya kembali pada keputusan masing-masing. Mungkin kalau boleh menambahkan, dengan segala kerendahan hati saya sampaikan, yang paling penting dari dua pilihan itu adalah bisa tetap berkarya dengan sejujur mungkin. Karena karya yang jujur yang pada akhirnya akan diterima dengan baik oleh pendengar.    

BACA JUGA - Apakah Rilisan Fisik Masih Relevan? Atau Hanya Sebagai Collectible Item?

Hidupnya yang selalu berpindah-pindah (nomaden) kini sudah menemukan tambatan hatinya. Mau pensiun dini jadi vokalis di Parahyena maunya cukup bermain guitalele aja, masih aktif bermain perkusi di Syarikat Idola Remaja dan kini menjabat bendahara blok perumahan di bilangan Rancaekek. Freelancer yang free banget.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner