Kritik untuk Para Penulis Lagu Cinta
Di bulan November 2018, penyanyi solo dan drummer saya di band 'KONSPIRASI', Marcell Siahaan menyapa saya via aplikasi pesan singkat WhatsApp: “Che, gue ditawari bikin soundtrack film nih, judulnya 'Hilang Kasih Di Sarajevo' produksi Singapore, istri gue Rima Melati dapet peran di situ. Kira-kira lo mau nggak bikin lirik cinta?”. Saya langsung bertanya bagaimana jalan cerita filmnya, dan ternyata kisah cintra tragis yang tak bisa bersatu karena terhalang aneka tembok norma. Saya menyanggupi. Lagu itu diberi tajuk: "Cinta Tersembunyi". Meski sebuah kisah cinta asmara yang tragis, motif untuk tetap membuat syair cinta yang optimis saya lakukan, kalian bisa menilainya sendiri, apakah syair yang saya tulis menggiring orang untuk memperpanjang kegalauan nasional atau tidak? Simak contoh syairnya di bawah ini:
“Dahulu kita pernah bersama,dalam asmara yang sempurna. Bencana datang, memisahkannya. Dan kita patah, juga terluka. Cinta yang menerangi, seharusnya rela melepaskan. Meski tak bisa memiliki, mencoba merelakan. Cinta lama datang menyapa, rasa rindu kembali menyala. Ku mencarimu sejak lama, menjaga romansa kita, selamanya. Menerima segala kenyataan, dengan kemurnian. Menerima semua keresahan, dengan kedewasaan diri. Walaupun terluka, rela tuk melepaskan, selamanya”.
Saya percaya, lagu cinta asmara dengan pilihan kalimat positif bisa berfungsi bagaikan obat pereda sakit untuk mengobati luka fisik. Lagu cinta seperti itu bisa mengambil peran bagaikan lemari obat, guna mengatasi luka psikologis seseorang, seperti luka penolakan, rasa kesepian, menderita kehilangan putus dengan pacar, rasa bersalah karena telah berkhianat, kegagalan cinta ditinggal menikah dan rasa rendah diri karena cinta bertepuk sebelah tangan. Mood yang lunglai, merasa tak punya lagi harapan untuk menikah, merasa hidup begini-begini saja, itu merupakan gejala awal depresi. Siapa bilang lagu cinta asmara tak bisa menyumbangkan peran sosial? Kalau liriknya punya motif menyembuhkan luka hati, kalau para penulisnya punya niat mencegah luka-luka perasaan agar tak semakin besar, karena mereka menyadari itu dapat mengganggu kesehatan jiwa dan emosi, peran itu sungguh mulia sebenarnya.
Sekali lagi, saya orang yang meyakini kekuatan narasi, bahwa lagu punya kekuatan ‘terapi kognitif’. Terapi ini menjelaskan bahwa segala emosi yang mengganggu kita sebenarnya berasal dari cara pandang dan penilaian yang salah. Kita membutuhkan terapi untuk memperbaiki cara berpikir, karena cara pandang kita yang keliru atas kejadian dalam hidup bisa menyebabkan stres, gelisah, depresi atau marah tanpa alasan yang jelas. Dan sebenarnya, bukan stres yang membunuh kita, tapi reaksi kita terhadap stres, karena masalahnya bukan terletak pada stres itu sendiri, tetapi pandangan atau penilaian kita terhadap masalah yang sering kali keliru. Saya tak anti lagu cinta asmara, karena itu merupakan kisah peradaban manusia dan para penulis lagu mencatatnya dalam syair. Saya hanya merasa sungguh tak mendapatkan apa-apa dari lagu cinta asmara yang pesimistik. Melalui artikel ini, saya hanya ingin mengingatkan lagi, bahwa musisi punya posisi kreatif yang kuat seperti halnya seorang 'social activist' atau agen perubahan, yang terlibat mempersembahkan karya untuk membangun peradaban sosial yang sehat melalui syair dan bunyi. Jangan pernah melupakan, bahwa musik bisa menempati ruang yang spesial di hati kerumunan jutaan massa dalam setiap kehidupan manusia, manfaatkan itu.
Comments (1)