Ketika Sastra dan Musik Saling Mencurahkan Dirinya

Ketika Sastra dan Musik Saling Mencurahkan Dirinya

Dalam tatanan yang lebih abstrak lagi, kedua musik dan sastra ini lengkap ketika ada konteks reflektif di sana. John Mayer di satu waktu pernah berkata “Ketika saya sedang stand up komedi dengan Dave Chapelle, itu adalah hal paling musikal yang pernah saya lakukan”. Stand Up Comedy adalah gabungan dari seni performans dan sastra, karena yang dimainkan di sana adalah kata-kata. Ketika John Mayer berkata demikian, dari situ kita bisa simpulkan bahwa dalam Stand Up Comedy, musik bersama sastra telah mencurahkan dirinya bersama.

Agaknya saya menjelaskan cukup melebar ke sana kemari yah. Baik, akan saya kecilkan fokusnya. Kembali ke pertanyaan, “Di mana curahan sastra dalam musik?”. Musik memiliki bahasa. Contoh materilnya adalah tentu literasi musik. Apa itu literasi musik? Notasi-notasi balok yang dipakai oleh para musisi. Memang tidak semua musisi bisa membaca not balok, tetapi not-not tersebut adalah alat berkomunikasi dalam musik untuk para musisi. Simbol bulat transparan memiliki arti empat ketukan, dan simbol-simbol lain. Sama halnya dengan alfabet dan simbol-simbol tulis lain. Bahasa yang dikeluarkan adalah musik. Musik juga banyak meminjam pengistilahan dari linguistik dan literatur. Musik memiliki frasa. Membuat satu irama, itu sama juga seperti membuat kalimat. Benar, musik pun memiliki kata ‘kalimat’. Kapan harus memulai kalimat tersebut, di mana kata kerjanya, dan bagaimana menutup kalimat, dengan frasa apa. Sama halnya dengan sastra dan puisi yang banyak meminjam istilah dari musik. Musik juga banyak mencurahkan dirinya dalam sastra.

Pertanyaan berikutnya: "Jika musik adalah sastra, lirik adalah puisi, maka apa bedanya musikalisasi puisi dengan karya musik berlirik lainnya?". Saya memahaminya demikian, sebuah karya musikalisasi puisi bisa dengan memusikan (membuat komposisi musik), dari sebuah karya puisi yang sudah ada, atau menginduksi sebuah karya puisi. Sebuah puisi yang dijadikan lirik memiliki nilai yang berbeda dari lirik biasa, itu adalah pilihan dan kemampuan dari pemilik karya.

Memang bisa dikatakan, makna musik dan sastra keduanya sama-sama berkembang seiring waktu, dan memiliki kecenderungan sifat yang abritrer dalam pemberian konteksi dan pengembangan nilainya. Manusia secara manasuka mampu melabeli dan bahkan membatasi satu karya menjadi musik dan sastra (puisi). Semua bisa disastrakan dan dimusikan. Namun, apakah ihwal tersebut semudah itu? Perlu ada wawasan yang baik untuk keduanya, karena kembali lagi ke ihwal dasar musik dan sastra, mereka ada untuk didengar, dibaca, dirasakan, dinikmati bahkan dikonsumsi oleh manusia. Oleh sebab itu, sifat manasuka dari pelabelan satu ihwal sastra dan musik tereduksi. Perlu dan pasti melalui serangkaian latar belakang sosio-kultural, konteks estetika dan tentunya persetujuan normatif dari masyarakat yang memilikinya. Lalu, kapan musik bersastra dan kapan sastra bermusik? Ketika keduanya mencurahkan dirinya masing-masing, berbarengan.

Oscar Lolang is a folk singer-songwriter from Indonesia. His background as an Anthropology student plus his fondness for Nick Drake, Peter Paul and Mary, Pete Seeger, and Simon & Garfunkel makes him capable to put boldness and honesty in his music. It's depicted since his earlier Soundcloud song (Bila), his first and second single (Eastern Man and Little Sunny Girl), to his first album 'Drowning in a Shallow Water'.

Since he was a child, he has been playing guitar and putting a lot of interest to history, culture, humanism, and folklore. Joined a young record label from Jakarta, Karma Records in late 2015, Oscar has released one demo-album titled Sanctigold (2016), one mini-album titled Epilogue (2017), and a full length album titled Drowning in a Shallow Water (2017). He has collaborated with other fresh names in Indonesian Indie Music Scene like .Feast, The Panturas, Sky Sucahyo, to Efek Rumah Kaca.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner