Down For Life di Tanah Bavarian:

Down For Life di Tanah Bavarian: "Ini Tentang Mimpi yang Harus Diwujudkan!"

Target masuk sepuluh besar WMBI akhirnya tercapai. Saya berpikir sudah saatnya menaikkan target. Sudah kepalang tanggung kenapa tidak menjadi pemenang dan berangkat ke Jerman. Draft briefing dari panitia WMBI saya terima dan langsung mempelajari. Pemenangnya nanti harus lah yang mempresentasikan metal Indonesia. Hmm.. Cukup susah. Saya juga melihat Final Show tahun lalu sebagai referensi.

Sembilan band lainnya adalah band-band hebat dengan kelebihan dan kekurangannya. Saya lebih fokus pada persiapan Down For Life sendiri. Ebenz dari Burgerkill berpesan bahwa dia ingin melihat Down For Life yang tampil berbeda dan lebih edan daripada manggung biasanya. Hal sama juga diungkapkan Samack, kawan lama dari Malang yang juga menjadi juri di WMBI tahun ini. Saya berpikir keras apa yang harus kami lakukan. Intro adalah hal pertama yang terlintas.

Langsung, saya menghubungi sahabat saya, Ari Wvlv, seorang komposer dari Sound Boutique Jogja untuk membuat intro gamelan Jawa dan suluk wayang dipadupadankan sesuai dengan karakter musik Down For Life, dan jadilah intro berjudul “Gunungan”. Tapi, intro saja tidak cukup. Butuh sesuatu yang lebih edan dan lebih menohok. Kemudian, saya melihat beberapa video live beberapa band yang pernah tampil di Wacken Open Air dari tahun ke tahun. Saya tertegun ketika melihat video live Bloodbath saat masih dengan vokalis Mikael Arkefel dari Opeth. Mengerikan! Death metal yang intens dengan balutan kostum t-shirt putih dan make up berlumuran darah. Penampilan mereka menjadi salah satu yang dikenang dari Wacken 2005. Caliban, Heaven Shall Burn dan juga monster technical death metal dari Jakarta, DeadSquad, juga pernah menggunakan kostum serupa.

Mengakomodir dengan budaya lokal sebagai identitas, dalam hal ini Jawa, saya berpikir mengkombinasikannya dengan batik. Saya kemudian menelpon teman saya, Fajar Dwinanto dari Baladhugal dan Krisna Baskara untuk meminta pendapat. Tugas selanjutnya sebelum produksi kostum batik ini adalah meyakinkan personil lain di Down For Life. Isa dan Latief cukup antusias dengan ide ini. Tapi, Jojo dan Rio ragu dan kurang percaya diri manggung dengan baju batik. Jojo bilang kalau dia bukan Iga Masardi dari Barasuara, hahaha... Wajar, karena kami belum pernah menggunakan konsep kostum sebelumnya. Setelah saya jelaskan panjang lebar dengan berbagai argumen pertimbangan dan sedikit omong kosong, baru lah mereka setuju. Isa meminta tolong temannya di Jogja untuk membuatkan kostum ini. Sempat salah membeli baju batik, kemudian dua senior saya, Yuka Narendra dan Sidiq Ilmawan menyarankan motif batik parang sebagai simbol perlawanan. Akhirnya, kostum perang atau baju armor batik motif parang pun siap dipakai maju bertempur di Final Show WMBI 2018.

Tapi, masalah belum selesai. Karena saya tinggal dan bekerja di Jakarta, jadi kami hanya sempat satu kali latihan bersama sebelum kami manggung di sebuah festival di sebuah desa di wilayah kabupaten Grobogan. Saya sempat bercanda, ini adalah simulasi Wacken yang sesungguhnya: sama-sama dibikin di desa kecil dan area moshpit yang berlumpur. Selain itu, persiapan melengkapi dokumen juga penuh drama. Beruntung semua personil Down For Life sudah mempunyai paspor, tapi Rio ketinggalan membawanya juga belum melengkapinya. Dengan usaha keras bagai kuda akhirnya semua bisa terpenuhi.

Stephanus Adjie

Stephanus Adjie. Dikutuk menjadi metalhead sejak 1990 sampai akhir menutup mata. Jomblo sejak tiga minggu yang lalu.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner