Death by Audio and Visual (A Place to Bury Strangers, Live in Jakarta)

Death by Audio and Visual (A Place to Bury Strangers, Live in Jakarta)

Edan dan berbagai kata kasar (dalam konteks takjub) yang tidak bisa saya tuliskan di sini adalah ucapan yang gak habis-habisnya terlontar dari mulut saya usai menyaksikan penampilan band asal New York yang terbentuk sejak tahun 2003, A Place To Bury Strangers (APTBS). Acara ini dihelat di Rossi Musik, Jakarta Selatan pada 23 Desember 2017, tepat dua hari sebelum Natal. Bagi saya pribadi, ini merupakan salah satu kado Natal dari Sang Pencipta dalam bentuk pengalaman audio visual yang membuat saya tidak berhenti bersyukur karena dapat menyaksikan salah satu penampilan dengan audio visual terbaik di tahun 2017 dari berbagai konser musik yang saya saksikan di tahun ini.

Beberapa jam sebelum kebisingan dan kemegahan tata cahaya dimulai, saya sempat berbincang ringan dengan light engineer mereka "Burgers" (yang merupakan orang pertama dari rombongan mereka yang saya ajak ngobrol). Ia telah terlibat selama tiga tahun dalam penampilan live APTBS.


APTBS | Foto: Firman Oktaviawan (Mano)

Berat piranti yang berhubungan dengan visual mereka adalah sekitar 50 pon. Kali ini, dia menggunakan lima proyektor (biasanya sembilan dalam penampilan regular mereka di Amerika), tiga stromlight dan satu lampu spesial. Peran doi sangat vital, menurut saya, dalam setiap pertunjukan band ini, seperti yang saya lihat di YouTube. Pada akhirnya, di malam hari saya menyaksikan kolaborasi dan sinkronisasi frekuensi dan visual yang merupakan satu bagian yang tidak bisa dipisahkan. Ibaratnya, memang sudah satu paket.

Acara dimulai dengan workshop mengenai "Wall of Sound". Sekitar satu jam sebelum sesi workshop effect, saya menghabiskan waktu dengan ngobrol ngalor ngidul bersama Oliver, founder dari band yang terbentuk sejak tahun 2003 dan telah mengeluarkan empat full album. Di tengah obrolan yang terasa cukup intim akan berbagai hal mengenai skena kota New York dan hal lainnya, saya sempat menanyakan bocoran song list untuk penampilan perdana mereka di Indonesia.

Dengan santai, dia berkata bahwa “kita tidak pernah menyiapkan song list khusus dalam setiap penampilan, tergantung gimana audience yang datang di konser mereka dan band-band yang bermain bersama mereka dalam acara tersebut”. Dengan kata lain, song list mereka adapsional dan dapat disesuaikan secara dadakan dengan tempat, crowd dan band-band opening atau pengisi acara, atau di acara apa mereka bermain.

Workshop mengenai "Wall of Sound" kemudian dimulai dengan moderator Iga Masardi (Barasuara), Pandu Fuzztoni (Morfem, Zuff), dan Dito (Barefood). Mereka melakukan sesi tanya jawab dengan Oliver mengenai pedal yang ia ciptakan dan hal lainya mengenai noise dan gitar. Beberapa penonton juga terlibat dalam sesi tanya jawab tersebut.

Vokalis dari band death metal Ibukota, Deadsquad.
Owner dari minor label dengan genre musik heterogen Alaium Records, fokus merilis album band dalam format kaset.
alaiumrecords@gmail.com
www.facebook.com/alaiumrecords

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner