Death by Audio and Visual (A Place to Bury Strangers, Live in Jakarta)

Pertunjukan dibuka oleh unit goth rock revival asal Jakarta, Pelteras yang seluruh personilnya menggunakan pakaian berwarna putih, kontras dengan aura musiknya yang gelap. Saya merasakan bau Bauhaus, Siouxsie and the Banshees, The Cure era Pornography, dan sedikit elemen ethereal ala Cocteau Twins era ‘80an awal.

Pelteras | Foto: Daniel

Setelah itu, pertunjukan dilanjutkan oleh kuartet post rock asal Bandung, Flukeminimix. Band ini pernah mengadakan showcase di Planetarium Bosscha dan "menampar" penonton dengan sound dan musik mereka yang tenang sekaligus kencang dan berat. Saya terpaku menyaksikan penampilan band yang memadukan seni dan sains. Tidak berlebihan jika saya menulis merekalah band post rock paling "loud" yang pernah saya saksikan di skena lokal. Auditorium Rossi Musik serasa mau rubuh oleh frekuensi yang mereka hasilkan.

Flukeminimix | Foto: Daniel

Sekitar jam 21.00 WIB, APTBS mengeset sound dan lighting mereka. Saat mereka menciptakan "kerusuhan" di panggung, tidak ada satu foto yang saya abadikan melalui smart phone saya, karena saya tidak ingin melewatkan sedetik pun pengalaman audio visual yang jarang saya rasakan se-intens ini di berbagai macam pertunjukan musik di negara ini, baik band luar maupun lokal.

Jadi, foto-foto di sini saya pinjam dari hasil jepretan teman saya, Mano, dari clothing brand Maternal Disaster. Brand ini dipercaya melisensi dan menjual kaus official license "A Place To Bury Strangers" versi "lokal" dengan kualitas yang menurut saya lebih bagus dibandingkan dengan kaus APTBS impor yang saya beli di booth merchandise APTBS sendiri. Booth Maternal bersebelahan dengan booth APTBS, dan baru kali ini saya melihat ada FX gitar yang dijual di booth merchandise sebuah band.

Booth Merchandise | Foto: Daniel