Dangdut Koplo Dramarama: Histeria Semu Kaum Berpunya

Dangdut Koplo Dramarama: Histeria Semu Kaum Berpunya

Kala saya sebut bahwa tren Dangdut Koplo di anak gedongan ini semacam “guilty pleasure” yang mulai diumbar dipamerkan hingga akhirnya memang “pleasure” Kas menganggap itu lebih sebagai parodi. Menurut Kas memang Dangdut Koplo dirangkul, diberi ruang di hati, cukup disukai, namun gesturnya lebih pada parodi. Semacam pembuktian kalau anak gedongan sejatinya tidak geli pada hal-hal cheesy. Bahwa hal kampungan itu eksotik. Langgam pedesaan itu edgy juga kok.

Saya sependapat dengan Kas. Walau Dangdut Koplo jaya wijaya menembus lingkup borjuis namun masih sebatas permukaan, dangkal, tak disertai kedalaman oleh audiensnya. Saya yakin ketika saat perjalanan pulang dari klub dan berjoget Dangdut Koplo, musik yang disetel di mobil bukanlah Dangdut Koplo. Lalu dalam kehidupan sehari-hari Dangdut Koplo belum ditempatkan sejajar dengan Bon Iver, Cigarettes After Sex, atau Anderson .Paak. Malah, saya mencoba menebak, Dangdut Koplo nihil diputar sama sekali saat bersantai di rumah. Padahal Dangdut Koplo yang disukai anak gedongan ini bukanlah Dangdut Koplo yang Pantura lahir batin. Tapi sudah remix, telah dioprek sedemikian rupa sehingga kandungan kerennya masih tersisa.Ya tetap saja, Dangdut Koplo hasil remix-an itu tidak/jarang dikumandangkan di ranah privat para strata kaya. Berbeda ketika berada di kerumunan massa, saat DJ di panggung menggeber “Don’t Look Back in Anger” yang dibuat Koplo, kelas menengah dan kaum borjuis ini bakal seketika berjoget. Sambil tertawa-tawa. Gembira, iya. Parodi, iya juga.

Dangdut Koplo kurang pas, agak tak masuk di selera saya. Alurnya monoton dan mudah ditebak. Setelah 4-5 lagu biasanya saya mulai bosan. Belum lagi lirik-liriknya yang rata-rata picisan. Namun saya tidak menutup diri dari Dangdut Koplo. Bagaimana pun juga ini adalah hiburan. Efektif bagi banyak orang untuk melepas penat. 

Hal positif yang bisa didukung dari tren Dangdut Koplo ini adalah tumbuhkembangnya rasa bangga pada produk bangsa sendiri. Dalam Dangdut Koplo ada sentuhan tradisional Jawa khususnya pola kendang Jaipongan. Anak muda kini bangga merangkul unsur musik tradisional. Hal yang di masa lalu nyaris mustahil terjadi. Evolusi cukup mencengangkan. Sik asik. Sik asik.

Rudolf Dethu memiliki beragam profesi. Mulai dari manajer band, penulis buku, jurnalis, pengamat musik, aktivis gerakan sosial kemasyarakatan, koordinator program kesenian, sempat menjadi penyiar radio cukup lama, pun menyandang gelar diploma di bidang perpustakaan segala.

Pernah ikut menyelenggarakan salah satu festival industri kreatif terbesar di Indonesia, Bali Creative Festival, selama 2 tahun berturut-turut. Namanya mulai dikenal publik setelah turut berperan membesarkan Superman Is Dead serta Navicula.

Belakangan ini, Dethu disibukkan utamanya oleh 3 hal. Pertama, Rudolf Dethu Showbiz, band management yang mengurusi The Hydrant, Leanna Rachel, Manja, Athron, Leonardo & His Impeccable Six, Negative Lovers, dan Sajama Cut. Kedua, Rumah Sanur - Creative Hub, di mana ia menjadi penyusun program pertunjukan musik dan literatur. Ketiga, MBB - Muda Berbuat Bertanggungjawab, forum pluralisme yang mewadahi ketertarikannya pada isu kebinekaan dan toleransi.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner