Coretan dari Dinding-Dinding Kota

Coretan dari Dinding-Dinding Kota


Foto koleksi Ritmekota

Sejak terbit pertama kali pada bulan September 2019, konon buku Ritmekota sudah mengalami cetakan yang ketiga. Kami cukup kaget, ternyata responnya lumayan juga. Disambut hangat oleh mereka yang tidak hanya hidup di Malang, tetapi sampai ke luar kota. Beberapa sesi diskusi dan bedah buku Ritmekota juga sempat dilakoni bersama para penulis dan penerbit. Banyak kritik dan masukan juga dari berbagai pihak. Kami jadi belajar banyak dari proses dan pengalaman ini.  

Selanjutnya apa? Segini aja?!

Tempo hari sih sempat ada obrolan ringan dengan penerbit Pelangi Sastra dan beberapa kawan penulis. Kayaknya kalau bikin lagi buku Ritmekota sekuel kedua kok menarik juga. Mengingat masih banyak kisah dari ekosistem musik di Malang yang belum tercatat pada terbitan buku yang kemarin. Kami juga yakin kalau di luar sana masih banyak talenta penulis dan pencerita ulung yang mau berbagi bersama kami untuk Ritmekota. Semoga.

Hari ini kita mulai bisa menemukan lebih banyak narasi tentang kota dan geliat musiknya. Seperti di buku Bandung Pop Darling (Irfan Popish), Musik Jakarta (Felix Dass & John Navid), atau Soundscape dari Makasar. Pasti masih ada lagi buku semacam itu yang luput dari radar saya. Bahkan beberapa media mulai menggagas semacam liputan atau rubrik khusus tentang sebuah kota dan kehidupan seni musiknya – yang notabene ini sebetulnya adalah gaya scene report warisan dari kultur zine.

Itu adalah fenomena penulisan dan kesadaran literasi yang sangat bagus. Memulai bercerita yang lebih detil soal kancah musik dari lingkungan dan kotanya sendiri. Berbagi catatan dan pengalaman. Sebab sejujurnya kita masih banyak “bolong” di sektor itu. Suka gagap akan perkembangan musik di Ambon, Manado, Palangkaraya, Padang, atau Trenggalek. Sementara kita ternyata lebih fasih bercerita dan paham tentang narasi musik di Seattle, Florida, New York, New Orleans, Liverpool, Manchester, Berlin, atau Gothenburg.

Apalagi setiap kota atau daerah konon memiliki irama dan ritmenya sendiri, dan pastinya itu tidak sama satu sama lain. Itulah semua yang musti dicatat. Sekarang. Sebelum semuanya terlambat, hilang ingatan, atau tercecer berantakan. Seperti pesan guru kungfu saya: Angkat pena ke angkasa!

*Sebagian paragraf diadopsi dari Catatan Editor pada buku Ritmekota, yang telah disunting dan diperbarui. Oya, buku Ritmekota masih tersedia melalui penerbit Pelangi Sastra.

Lahir dan besar di kota Malang. Memulai kegiatan menulis melalui fanzine dan newsletter. Sempat menerbitkan Mindblast Zine dan situs Apokalip.com. Tulisannya pernah dimuat di Jakartabeat, Rolling Stone Indonesia,The Metal Rebel, DCDC, Supermusic, Vice Indonesia, Jurnal Ruang, Whiteboard Journal, Warning Magz, Pop Hari Ini, Demajors news, dan sejumlah media lainnya. Saat ini tetap menulis sehari-hari untuk topik musik dan budaya populer, sembari mengelola institusi Solidrock serta jaringan distribusi rekaman di Demajors Malang dan Rekam Jaya.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner