Coretan dari Dinding-Dinding Kota

Coretan dari Dinding-Dinding Kota

Sedari awal kami bebaskan mereka mau menulis apa saja sepanjang sesuai dengan tema. Kami yakin mereka bisa menulis kesaksian sederhana dalam bentuk feature, scene report, reportase, esai, atau ulasan apapun perihal musik di kota Malang. Mereka berlaku sebagai saksi, penggali fakta, dan juga pencerita.

Sebagian nama dan naskah yang pernah beredar memang sudah kami “booking” untuk materi buku Ritmekota. Sebab, mencari naskah yang sudah jadi dan pas sesuai konsep Ritmekota akan lebih meringkas kerja kami ke depan. Sisanya, saya dan penerbit bahkan tidak pernah tahu sisa nama yang lain akan menulis tentang apa dan kapan kelarnya. Itu juga yang lumayan bikin deg-degan dan berharap-harap cemas. Mengalir saja, tanpa deadline yang pasti.

Hingga pada akhirnya, setelah hampir setahun berjalan, terkumpullah dua belas naskah dari dua belas penulis. Beberapa penulis/naskah memang ada yang kami tolak karena tidak sesuai konsep Ritmekota secara konten maupun gaya tulisan. Oke, ini sudah cukup untuk buku kecil yang tidak terlalu tebal. Yang bisa dibaca sekali duduk, namun ceritanya akan tetap timeless.

Memang butuh ketekunan yang tinggi untuk mengemas reportase tentang skena rock alternatif, emo dan hardcore dalam rentang tahun tertentu. Untung para scenester seperti Radinang Hilman, Alfan Rahadi, dan Prana Okta mampu melakukan pengamatannya dengan baik. Pada menit-menit terakhir malah bertambah dengan esai historis perihal perkembangan label rekaman di kota Malang yang ditulis dengan cermat oleh Fajar Adhityo.

Kepada musisi atau pemain band, kami justru berharap mereka mau menuliskan pengalaman personalnya di balik proses kreatif atau karir bermusiknya. Mungkin itu bisa jadi kisah yang menggugah dan inspiring bagi para pelaku musik lainnya. Itu lalu yang kami dapatkan dari pengakuan tertulis Nova Ruth dan Han Farhani.

Dua kawan baik, Didid Haryadi dan Agung Rahmadsyah, ikut menceritakan pengalamannya “bertemu” dengan kancah musik saat numpang menempuh studi di Malang. Dari penuturannya, kami bisa membaca kalau mereka tampaknya cukup bahagia dan mendapatkan banyak “oleh-oleh” dari sana.

Esai personal yang bahagia hadir lewat tulisan Dewi Ratna yang mengulas konser-konser garapan Malang Sub Pop, serta narasi penuh syukur dari Lydia Alessia yang pernah “tersesat” di Houtenhand. Sementara KMPL hanya perlu mengamati segala tingkah dan perilaku para penggemar Tani Maju untuk mengemas sebuah reportase yang menarik soal fanbase grup musik. Sedangkan Zidni R. Chaniago berbagi opini soal gegap gempita penyelenggaraan gigs berdasar pengalamannya di Warung Srawung. 

Lahir dan besar di kota Malang. Memulai kegiatan menulis melalui fanzine dan newsletter. Sempat menerbitkan Mindblast Zine dan situs Apokalip.com. Tulisannya pernah dimuat di Jakartabeat, Rolling Stone Indonesia,The Metal Rebel, DCDC, Supermusic, Vice Indonesia, Jurnal Ruang, Whiteboard Journal, Warning Magz, Pop Hari Ini, Demajors news, dan sejumlah media lainnya. Saat ini tetap menulis sehari-hari untuk topik musik dan budaya populer, sembari mengelola institusi Solidrock serta jaringan distribusi rekaman di Demajors Malang dan Rekam Jaya.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner