Bicara tentang Fulan, Si

Bicara tentang Fulan, Si "Boneka Black Metal"

Sebut saja ada orang yang bernama si Fulan Bertahta Kegelapan. Ia memproklamirkan dirinya sebagai seorang yang anti human, anti-scene, et. cetera. Tapi, ngomong-ngomong soal anti human, bisakah kamu hidup tanpa meninggalkan sisi kemanusiaan itu sendiri? Seandainya beneran kamu adalah seorang yang anti-scene, ngapain repot-repot mencampuri segala urusan yang pada kenyataannya adalah praktik dari sebuah ekosistem budaya yang biasanya disebut scene? Atau, jangan-jangan yang sedang bicara bahwa dirinya adalah sosok anti-scene sebetulnya memang tak pernah dianggap oleh lingkaran dari scene yang sedang ia permasalahkan?

Si Fulan ini (dan orang-orang sejenisnya) barangkali hanya sekadar korban dari permainan. Dari permulaan kasus itu yang menyebar di lingkaran pertemanan media sosial, dan beberapa komentarnya yang ditanggapi kawan-kawan lain, jawaban-jawaban dia sarat inkonsistensi. Nihil substansi. Dan sangat menyedihkan sekali jika ternyata dia cuma menjadi boneka dalam scene black metal ini. Tidak menutup kemungkinan ada orang-orang di baliknya yang dengan sengaja memanfaatkan dirinya. Merasa paling radikal dalam scene tapi untuk sekadar berargumentasi dengan publik saja tidak sedikit pun menyenggol substansi. Jadi, pergerakan semacam apa yang mereka inginkan dengan mengklaim sebagai yang paling radikal? Lalu, seperti apa sih konsep radikal yang diinginkan dalam scene ini? Ingat, hal-hal semacam itu pun dapat terjadi di scene lain, bukan hanya black metal.

Musik metal menempati posisi istimewa dalam garis kehidupan saya hingga sekarang. Saya dan bahkan sebagian di antara kita juga mengakui bahwa beberapa orang atau kawan terbaik adalah para metalheads. Citra metal sebagai sebuah komunitas atau scene yang meluas seringnya malah melampaui tafsiran dari para pegiatnya sendiri. Seorang kawan pernah berbagi cerita tentang pertemuan di sebuah forum internasional yang di dalamnya muncul sebuah pertanyaan yang kira-kira bunyinya; apa sih karakterisik (musik) metal di Indonesia? Ternyata kita sendiri pun masih kebingungan menjawabnya.

Apakah selamanya kita bakal berputar-putar terus di dalam labirin identitas metal di Indonesia atau Nusantara itu? Setiap individu membutuhkan identitas. Ketika saling berinteraksi dari masing-masing kebutuhan dan perilaku sama, terciptalah identitas kolektif. Makro (sub) genre black metal kian menyebar dan tidak lagi berkutat pada gimmick-gimmick berbau satanik atau sejenisnya. Kita harus akui itu. Fakta bahwa dari dulu musik dapat digabungkan dengan berbagai elemen pun bukan hal baru. Tidak semata urusan mengenakan kostum supaya bisa tampil sejahat mungkin dan ketika selesai turun dari panggung balik lagi jadi manusia normal yang sangat normatif. Eh, tapi bukankah tadi maunya jadi anti-human, ya?

Di Norwegia, yang selalu dipuja-puji sebagai tanah kelahiran subgenre ini, pun bahkan terjadi pergeseran dan perkembangan luar biasa. Pergerakan subkultur yang dipelopori oleh gaya-gaya musik progresif dan radikal sering menimbulkan dampak budaya yang lebih meluas semisal punk atau hip-hop. Sementara itu, black metal dari awal kelahirannya sarat kompleksitas dan sering menonjol sisi kontroversialnya. Sudah dibingkai sedemikian rupa oleh media arus utama yang terus menjejalkan remah-remah reproduksi tafsir dan pemaknaan yang semena-mena. Proses itu berkelanjutan dari generasi ke generasi sampai sekarang. Tapi dampak seperti apa sih yang ditimbulkan oleh subgenre musik ini dibanding punk atau hip-hop? Apakah menjadi black metal itu harus sama persis dari sononya? Semisal black metal harus begini dan begitu dengan rujukan yang dianggap paten dan serba ‘otentik’ itu, bukankah tak aneh kalau kita menyebut mereka sebagai kaum puritan? Lalu, siapa yang justru memposisikan dirinya sebagai elit?

Bahkan, perkembangan ‘genre-subgenre’ di berbagai negara pun sangat beragam alias dimainkan serta dikonsumsi sesuai konteks budaya setempat. Kenapa black metal seolah mesti dibedakan? Padahal, dari perspektif artistik dan akademis, black metal sangat memenuhi syarat untuk terus dijelajahi bersama segenap persoalan budayanya melalui seni visual. Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa pentolan black metal seperti Fenriz dari Darkthrone memainkan musiknya murni karena alasannya sebagai sarana baru untuk mengekspresikan sisi artistiknya. Yang lain, seperti Varg Vikernes sangat percaya bahwa black metal tidak lebih dari filosofi dan pandangan politik.

Hernandes Saranela

Hernandes Saranela merupakan pembuat film personal di bawah bendera kolektif Cinemarebel Yogyakarta. Vokalis dari band Punk DEMSTER & band Pagan Metal ENUMA ELISH. Juga menjadi pengajar film dan akting di salah satu kampus di Jogjakarta.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner