Sepenggal Kisah Pertemuan Saya dan Canting

Sepenggal Kisah Pertemuan Saya dan Canting

Bandung cukup identik dengan bangungan cagar budaya. Populasi orang Belanda di masa penjajahan Belanda jaman dulu memang banyak di kota ini, segala penjuru kota punya cerita masing-masing tentang itu. Tak hanya kisah misteri, bangunan-bangunan cagar budaya ini juga menjadi saksi bisu tonggak pergerakan sejarah di kota Bandung.

Saya adalah salah satu orang Bandung yang gemar menelusuri bangunan-bangunan cagar budaya di kota ini, terutama jika bangunan itu memiliki banyak cerita. Mungkin jika yang lain mencari tahu tentang sejarah dan jenis arsitektur bangunannya, saya lebih suka menelusuri mahkluk apa yang ada di tempat-tempat itu.

Menyenangkan rasanya bisa berkomunikasi dengan mereka yang tak kasat mata, mendengar kisah demi kisah lewat penuturan meraka. Walau belum tentu benar, tapi cukup menarik untuk diramu menjadi sebuah karya baru.  Kadang saya terlalu asik berenang dalam kisah itu, hingga saya lupa pada beberapa batasan yang seharusnya di jaga.

Seringkali, pada akhirnya mereka terus menerus hadir dalam setiap karya yang saya tulis berdasarkan kisah-kisah itu.

***

Gedung itu terselip diantara bangunan-bangunan baru yang ramai di kunjungi orang, kebanyakan dari mereka datang untuk berbelanja. Dia terlihat kumuh, dan tak terawat. Padahal yang saya dengar dulu, tempat itu merupakan tempat pertunjukan yang dianggap mewah oleh orang-orang Belanda di kota Bandung. Beberapa pertunjukan masih di gelar, kebanyakan penontonnya adalah siswa sekolah yang wajib hadir menonton pertunjukan oleh guru kesenian mereka.

Saya datang  bukan karena diminta, melainkan karena penasaran akan cerita "mereka" di gedung itu. Duduk di antara deretan kursi yang kusam dan terkoyak disana-sini, masih terasa bagaimana megahnya tempat ini dulu. Kepala saya menggambar jelas bayangan-bayangan tentang manusia-manusia yang pernah datang kemari, di masa lampau. Senang rasanya melamun seolah itu nyata. Ada yang bilang, bayangan itu sebenarnya nyata, tapi saya lebih percaya kalau ini hanyalah lamunan seandainya saya hidup di jaman itu dan menikmati kemegahan gedung ini sebagaimana mereka mengaguminya.

Lamunan itu terhenti, tatkala sesuatu terasa di lengan sebelah kanan saya. Seperti ada yang menyentuh, tapi begitu dilihat ternyata tak ada sesiapa kecuali rombongan anak sekolah dasar yang duduk jauh beberapa kursi di sebelah kanan sana. Rasanya tidak mungkin jika mereka yang melakukannya. Tiba-tiba giliran tangan sebelah kiri saya yang kini merasakan sentuhan itu, sungguh mengagetkan.

Mata ini sontak mengarah ke arah kiri, dan seorang perempuan berkebaya tengah duduk disana, tersenyum menatap saya.

Dia mengenalkan dirinya sebagai seorang penari yang akan tampil di tempat itu, namanya Canting. Kami asyik bercerita, lebih banyak saya yang bertanya tentang apa yang dilakukannya, sementara dia hanya menjawab semua pertanyaan saya dengan penuh senyum. Betapa bodohnya saya, tak berpikir bahwa sebelumnya saya hanya duduk sendirian tanpa kawan di kanan dan kiri kursi. Kadang-kadang jika penglihatan saya sedang sangat tajam, saya tak bisa bedakan mana manusia mana mahkluk tak kasat mata. Saya pikir dia manusia, dan benar-benar hadir di tempat itu untuk tampil.

"Sudah giliran saya" Ucapnya sambil berdiri dari tempat duduknya, lantas pergi meninggalkan kursi. Saya menganggukan kepala, mengiyakan, dan lalu terperangah atas apa yang saya lihat. Terlihat jelas bagaimana noda berwarna merah menyerupai darah segar mengotori bagian bawah tubuhnya yang di balut oleh kain tradisional. Saya hanya bisa menganga, dan mengucap segala macam doa karena takut.

Perempuan bernama Canting itu menengok sekilas ke arah saya, lalu tersenyum. Tubuhnya jelas terlihat seperti melayang kini, dengan cueknya menembus tembok gedung pertunjukan, meninggalkan saya yang takut dan tak tahu harus berbuat apa.

***

Cerita yang saya korek darinya saat itu terus menempel di kepala. Tentang nama seorang anak, tentang nama seorang laki-laki, tentang nama kedua orang tua, dan tentang bagaimana dia bisa sampai disini. Nada mulai tergambar, lirik mulai tercipta, sebuah karya lahir atas nama Canting sang penari.

Cukup terbiasa bagi personil Sarasvati (band saya) untuk meramu sebuah lagu berdasarkan cerita yang saya ceritakan kepada mereka. Dengan berbekal sosok, nama-nama, nuansa, dan gambaran segala tentangnya, kami merangkumnya dalam sebuah karya berjudul "Aku dan Buih". Membayangkannya berada di atas panggung pertunjukan, menari sendirian dengan kondisi seperti itu, menggambarkan kesedihan yang mudah untuk dicerna.

Canting adalah kisah yang menjadi karya. Jangan pikir personil band Sarasvati memiliki kemampuan yang sama dengan saya. Mereka mungkin tak terlalu peduli pada sosok hantu yang saya ceritakan di lagu, tapi mereka meresapi setiap cerita agar menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Dia sangat berbahagia, menurutnya lagu ini indah...
Menggambarkan kesedihan yang selama ini menyiksanya
Memberikan harapan baru untuknya terus menari
Meski sendirian

Tapi saya lupa, untuk memintanya agar tidak  usah mendatangi saya. Dia yang bernama Canting rupanya terlalu senang dibuatkan lagu, terlalu senang berteman dengan manusia. Tapi apa boleh buat, saya tak kuasa untuk tak mengijinkannya menari di setiap pertunjukan Sarasvati, saat lagu ini dimainkan.

Berikut saya cantumkan link Youtube, diposting oleh Angga Ward, seseorang yang sangat kreatif membuat video klip unofficial Sarasvati dengan lagu "Aku dan Buih"

Partime singer, partime writer, & partime ghosthunter

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner