Seandainya Black Metal Lahir di Indonesia (Bagian Satu)

Seandainya Black Metal Lahir di Indonesia (Bagian Satu)

Simbol adalah salah satu elemen yang kuat, atau katakan lah menonjol dari subgenre black metal. Barangkali, dari sekian ragam genre dan subgenre metal, pemakaian simbol di black metal yang paling kuat. Ada salib dibalik, kepala kambing, pentagram, sampai pada wujud-wujud varian paganisme, semisal tanduk menjangan. Belum kehitung pula gaya penulisan font oyot-oyot yang seolah menjadi kewajiban bagi identitas nama band. Makin susah dibaca, makin sangar, obskur, dan black metal.

Yang lebih ajaib lagi, penggunaan simbol beserta segala pemaknaannya pun telah mengalami pergeseran yang makin lama bagi sebagian orang terasa meresahkan, termasuk saya. Siapa bilang Baphomet itu simbol satanik? Apa benar-benar sudah dipahami? Kalau iya, dari mana sumber yang mengatakan itu? Institusi agama? Common sense?

Dahulu di Birmingham, Inggris, sebuah band merasa takjub dengan banyaknya orang yang berbondong-bondong membeli tiket dan menonton film horor di bioskop, jauh dari jumlah penonton di panggung mereka. Akhirnya, hal tersebut mengilhami mereka mengambil keputusan untuk mencitrakan diri sebagai band seram dengan simbol-simbol kegelapan dan beberapa dekade berikutnya menjadi sebuah legenda, bernama Black Sabbath.

Kalau kita mau lebih jernih memandang dan mencercap segala praktik penggunaan simbol ini, apakah memang benar-benar ada korelasi dari pemakaian dan pemaknaan, apalagi sampai ke bentuk konkret pergerakan yang kerap saya idamkan? Dugaan saya, jangan-jangan black metal sekarang menampilkan wajah-wajah ketidakberdayaan atas bayang-bayang finalitas masyarakat industri yang serba kapitalistik dan notabene konsumtif? Lihat saja bagaimana nasib punk dan segala atribut simbolnya yang semakin reduktif, entah di masyarakat urban, pinggiran, dan pelosok-pelosok kecil lainnya. Dengan mudah dan gegabah, masyarakat bisa mengecap atau melabeli sekenanya hanya dari melihat permukaan, tampilan luar, kulit, yang serba artifisial.

Padahal, apa yang dari dulu dan masih diperjuangkan melalui punk ialah upaya konter-hegemoni. Vis a vis, dominasi otoritarian yang terus menerus menjajakan kedunguan, kemalasan, di tengah-tengah masyakat konsumtif alias industrial. Melawan dengan kritikan yang bagi kebanyakan nampak menyebalkan. Bukan sekadar tampil beda, unik, nyentrik, karena semua itu pada dasarnya merupakan cara atau metode yang dipilih. Tapi, kenyataannya masih ada setitik harapan dari situ di masa sekarang, yaitu semangat anti-otoritarian dengan ekspresi menyebalkan. Ya. Menjadi Punk bisa diartikan sebagai perihal menjadi menyebalkan yang bukan imitatif.

Header Photo: bolopati blog

Hernandes Saranela

Hernandes Saranela merupakan pembuat film personal di bawah bendera kolektif Cinemarebel Yogyakarta. Vokalis dari band Punk DEMSTER & band Pagan Metal ENUMA ELISH. Juga menjadi pengajar film dan akting di salah satu kampus di Jogjakarta.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner