Perspektif dalam Lirik (Bagian 1)

Perspektif dalam Lirik (Bagian 1)

Pada akhirnya, saya memilih untuk membuat lirik dengan perspektif yang lebih global, melihat sebuah persoalan dari titik terjauh. Ibarat pelatih sepakbola yang harus melihat permainan pemainnya secara lebih utuh dari pinggir lapangan. Dia tidak merasakan lelahnya berlari mengejar bola atau sakitnya kaki dilanggar pemain lawan. Emosi dan energi yang dirasakan menjadi sangat berbeda. Eksplorasi kreatif dalam menulis lirik di album terbaru ini benar-benar membuat saya tertekan. Inspirasi tidak muncul begitu saja. Saya harus benar benar mencari dan menggali sumber dan persoalan yang kira-kira cocok dengan tema album terbaru Forgotten.

Untuk lirik di album terbaru ini, saya merasa berjarak dengan objek. Jika biasanya merespon persoalan lokal dalam keseharian, kali ini tidak dapat saya lakukan. Kembali, saya harus membuka buku-buku teori pergerakan sosial, seperti Marx, Chomsky, Emma Goldman, dan Berkman. Menyantap kembali hidangan karya sastra realisme sosial klasik seperti Maxim Gorky, Pramoedya, Tolstoy atau bahkan Al Hallaj. Saya membedah realitas menggunakan pisau teori, sesuatu yang sebetulnya sudah saya akhiri semenjak lama. Medan peperangan ada di luar jendela rumah kita, bukan di dalam lembaran halaman buku teori. Itu alasan mengapa saya mulai jengah dengan berbagai macam teori. Tapi, itu kembali harus saya lakukan, karena saya tidak dapat menemukan medan peperangan yang saya inginkan. Melihat sebuah persoalan di titik permukaan untuk kemudian dibedah dari dalam menggunakan pisau teori.

"Medan peperangan ada di luar jendela rumah kita, bukan di dalam lembaran buku teori. Itu alasannya mengapa saya mulai jengah dengan berbagai macam teori. Tapi, itu kembali harus saya lakukan, karena saya tidak dapat menemukan medan peperangan yang saya inginkan."


Proses Recording Kaliyuga (diambil dari laman Facebook Forgotten - @666forgotten666)

Setiap lirik yang saya buat untuk Forgotten adalah bagian dari ekspresi merespon situasi lokal. Kali ini, saya terpisah jarak dengan situasi tersebut. Masih segar dalam ingatan proses pembuatan lirik, dimulai ketika terjadi pemilihan presiden di Indonesia. Saya membaca banyak berita tentang kekisruhan yang terjadi lewat portal-portal berita. Yang membedakan, saya tidak merasakan intensitas ketegangan yang terjadi, karena saya jauh dengan objek yang ingin saya rasakan. Saya mencoba membuka ruang diskusi lewat aplikasi chatting dengan kawan-kawan di tanah air tentang situasi terkini di dalam negeri untuk sekedar merasakan suasana yang sedang terjadi. Rasa takut, khawatir atau bahkan euphoria yang terjadi hanya lewat begitu saja di jajaran kalimat yang saya baca. Saya ingin lirik yang saya ciptakan tidak lantas menjadi datar, sepi makna dan tidak mewakili perasaan pendengarnya.

Semua penilaian pada akhirnya dikembalikan pada pendengar dan penikmat. Dalam teori komunikasi massa, publik adalah hakim yang paling subjektif dan arogan. Mereka yang pada akhirnya akan menilai sebuah karya itu keren atau sangat butut dalam perspektif personal. Merekonstruksi konflik nilai individu dengan nilai kolektif sosial, lalu diaplikasikan ke dalam karya berupa lirik memang gampang-gampang susah. Menciptakan karya yang menginspirasi orang untuk berbuat sesuatu itu tidak ada buku panduannya. Karya yang bagus adalah ketika karya tersebut mampu direspon dan mampu mewakili semangat jamannya.

Seperti apa jadinya lirik di album terbaru Forgotten? Judul albumnya adalah Kaliyuga. Nantikan saja!


Forgotten Kaliyuga Promo Album 2017 (http://www.metal-archives.com)

Ranah musik bawah tanah Kota Bandung tidak akan pernah sama jika Addy Gembel tidak hadir di era '90an. Bersama grup musik ekstrim yang dinamai Forgotten, ia lantang menyuarakan tentang hal-hal provokatif dan kontroversial, dengan dua jenis pilihan bahasa: frontal dan sangat frontal. 

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner