Musik Folk Indonesia “Kembali” Berjaya dan Ada Dimana-Mana. Alasannya?

Musik Folk Indonesia “Kembali” Berjaya dan Ada Dimana-Mana. Alasannya?

Lalu, bagaimana dengan band yang relatif “baru” dibandingkan tokoh yang saya sebutkan sebelumnya, misalkan Payung Teduh, Float, atau Dialog Dini Hari? Koridor dalam folk memang unik, karena musik mereka sulit untuk dimasukan ke dalam genre lain yang memang secara umum dikenal. (Dan perdebatan seru mengenai koridor genre folk akan saya bahas lebih lanjut karena mungkin penjelasannya akan panjang, secara historikal ataupun teknikal)

Yang terjadi adalah musik dengan genre “kuat” ini kembali diminati oleh para penggiat aktif musik, baik itu pemula atau bahkan “pemain lama”. Apa yang menyebabkan itu terjadi? Seperti kita tahu, elemen digital dalam tujuan promo saat ini sangat lah kuat, karena bisa membantu media promosi dengan modal relatif murah dan mampu menjangkau luar biasa luas. Namun, sebuah produk dengan promosi yang luar biasa harus bertanggung jawab dalam bentuk kualitas dalam konteks (misalnya) live performin. Lalu apa hubungan dengan kebangkitan folk itu sendiri? Saya akan rangkum dalam beberapa bagian besar.              

Kesederhanaan (Teknikal/Equipment)
Para pelaku musik muda biasanya membutuhkan tempat berekspresi, seperti stage dan lain-lain. Stage sendiri dalam bentuk gigs mungkin terbagi dalam beberapa klasifikasi, dilihat dari ukuran dan total budget yang dibutuhkan, mulai dari gigs besar (seperti di lapangan) sampai mini gigs (café atau coffee shop). Jika dilihat dari kemampuan para penggiat indie yang tidak berlindung di bawah ketiak para sponsorship, otomatis akan lebih sering dan lebih mudah untuk membuat gigs yang kecil. Otomatis lagi, akses ke grup dengan pendekatan folk yang kuat dengan format akustik band, duo akustik, atau bahkan one man show (vocal plus guitar) akan lebih banyak dan mudah. Karena, konsep tersebut secara teknis grup ataupun solois terbilang lebih fleksibel, dapat bermain di segala bentuk stage, bahkan dengan konsep paling minimalis sekali pun. Ini lah salah satu pendekatan yang dilakukan oleh para penggiat musik.

Lirik Lagu
Banyaknya creator konten independen, influencer, dan apa pun itu namanya yang sekarang sedang berjaya dalam dunia idealisme mereka melalui media masing-masing jelas memengaruhi para pemilih musik folk. Karena, kecenderungan yang terjadi adalah semakin idealis, semakin berbeda, maka semakin “keren”. Hal ini jadi salah satu penyebab folk dipilih, dan lirik yang umum digunakan adalah bahasa Indonesia yang juga relatif lebih mudah diterima. Dibalut dengan musik folk, mereka menghasilkan musik yang “ringan tapi berat”. Hal ini menjadi fenomena yang buat saya cukup menarik, karena banyak orang yang terinspirasi membuat band dengan genre ini, atas nama kemudahan dalam pembuatan lagu , teknis, dan lirik.


Jason Ranti - Foto: Facebook Jason Ranti

Namun, lirik yang sedang tren di kalangan musisi folk saat ini memiliki ciri khas yang sama, yaitu “berat”. Penuh kata-kata dengan pendekatan sajak-sajak puisi yang kadang terlalu dipaksakan agar terdengar dan terlihat “cerdas”, walau pun masih ada penggiat folk dengan lirik lugas, jujur, apa adanya, serta berkarakter kuat, seperti Jason Ranti.

Artikel ini adalah sepenggal pandangan yang saya peroleh dengan bersentuhan langsung kepada para pecinta dan penggiat folk. Memang, tidak bisa menjadi tolak ukur sebuah kajian atau koridor dalam mengotakan dan menerjemahkan folk Indonesia secara luas dan gamblang, namun sedikit berbagi agar kita sama-sama menggali agar lebih berani menjadi diri sendiri dan tidak mudah dipengaruhi tren yang ada.

Robertus Bagas

Bagas perdhana adalah penggiat aktif musik dari Bandar Lampung. Aktif bermusik sebagai instruktur musik, dan menjadi frontman dari beberapa band yang bergerilya secara independent sampai sekarang.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner