Musik dan Telinga Manusia

Musik dan Telinga Manusia

Kutukan dan Kolaborasi Realitas
Pernahkah telinga manusia berhenti mendengar? Atau, apa kita mampu untuk tidak mendengar apapun? Coba tutup telinga kita, masih ada suara? Nah, jika masih ada suara, maka manusia memang sudah “dikutuk” untuk terus mendengar, walaupun kita sudah tutup rapat telinga kita. Terkecuali mungkin jika kita sedang tertidur, pingsan, dan dalam keadaan otak kita tidak merespon bebunyian yang ditangkap oleh telinga. Namun, konsentrasi yang dibuat oleh otak manusia mampu membuat seolah-olah seseorang merasa tidak sedang mendengar apapun, semua bebunyian terabaikan begitu saja.

Pada sebuah rumah, tepatnya di sebuah pinggiran kota di Bandung misalnya, seseorang sedang mendengarkan Metallica menggunakan speaker portable. Ia merasa dan membayangkan berada di dalam sebuah studio bersama band tersebut, atau berada dalam sebuah konser. Lalu, lewatlah penjual bakso cuanki di depan rumah tersebut beserta bunyi “tok, tok, tok” nya. Dalam keadaan seperti itu, akan terjadi banyak kemungkinan. Pertama, ia merasa tetap berada pada sebuah ruang studio atau konser Metallica dan menghiraukan suara “tok, tok, tok” tadi, atau kedua, seseorang tersebut sadar ia sedang mendengarkan Metallica featuring si Mang Baso Cuanki. Ketiga, Metallica akan dihiraukan, konsentrasinya tergantikan oleh suara penjual bakso cuanki, terlebih jika dalam keadaan lapar. Sederhananya, untuk mengalahkan band sekelas Metallica, kita tidak perlu membuat musik atau album, menjual makanan enak pun bisa jadi alternatif yang bagus untuk itu, heheee..

Sebuah Abstrak di Dalam Kepala
Musik merupakan salah satu bentuk seni yang paling abstrak. Pernah melihat warna atau bentuk dari musik atau bebunyian itu sendiri? Pernah kesetrum listrik atau apa warna udara yang kita hirup setiap saat? Musik seperti itu, ia bergerak dan hadir tanpa rupa. Beda halnya jika kita menonton pertunjukan tari, teater, atau mungkin menikmati sebuah lukisan, kesenian tersebut lebih jelas terlihat, terlepas dari sebuah konser atau pertunjukan musik. Walau musik hanya mampu dirasakan atau ditangkap oleh telinga, tapi ia mampu menghadirkan berjuta rupa di dalam kepala.


Beethoven - Foto: turnermusicclass.com

Beethoven, seorang komponis Jerman periode klasik-romantik, ketika menulis komposisi untuk “Simfoni No. 9” ia sudah dalam keadaan tuli, atau mungkin hanya mendengar bunyi dengan sangat samar-samar lewat piano dan suaranya sendiri. Bunyi yang sudah tidak ditangkap lagi oleh telinga menjelma menjadi bebunyian yang hadir di dalam kepala. Tentunya, setelah melalui proses pengalaman dan kontemplasi yang tidak sebentar, sebelum ia menjadi tuli. Bukan hanya Beethoven, begitu banyak cara yang dilakukan oleh seorang komponis dalam membuat komposisi musik. Bahkan, banyak komponis tidak ingin dihadapkan pada sebuah alat musik ketika sedang membuat sebuah komposisi, tidak menghadirkan bebunyian lain selain yang hadir di dalam kepala, atau hanya membayangkan bebunyian dari notasi yang ia tulis.

Musik menjadi sebuah rangkaian bebunyian yang ditangkap oleh telinga, merupakan sebuah anugerah, atau mungkin sebuah kutukan yang indah. Maka, semoga kita senantiasa mampu menjaga telinga ini agar tetap mampu mendengar musik, membuat dan memainkan musik. Telinga kita selalu setia menangkap hal baik dan buruk dalam hidup ini, karena mungkin bagi sebuah telinga, di dunia ini tidak ada hal baik dan tidak ada pula hal yang buruk.

Robi Rusdiana

Tokoh ini sudah sangat akrab dengan dunia musik. Gitar, keyboard, hingga piano klasik sudah menjadi bagian dari kesehariannya sejak kecil. Ketertarikannya pada musik dilanjutkan pada pendidikan formal hingga meraih gelar Magister Seni di tahun 2013. Robi Rusdiana juga merupakan pendiri dari proyek musik Ensemble Tikoro.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner