Mungkin Ini yang Luput ketika Mereka Gaduh Menganekdotkan ‘Skena’

Mungkin Ini yang Luput ketika Mereka Gaduh Menganekdotkan ‘Skena’

Sumber Foto : Diambil dari Instagram Saturday Night Karaoke

Mungkin karena keniscayaan pola pikir dan arus informasi yang memang sudah terlalu dinamis seperti sekarang, perspektif akan istilah ‘skena’ yang terkuak dan dieksploitasi oleh para media populis dan para pengguna salah satu platform media sosial favorit masa kini itu hanya sebatas permukaan saja

Mungkin ini tak berarti apa apa, tapi maafkan saya karena tak tahan untuk mengungkapkan perasaan ini. Meski pada akhirnya, mungkin tulisan saya ini bisa jadi akan tetap dianggap sebagai dagelan lanjutan bagi para normies mau pun para pelaku di lingkupnya sendiri untuk membahas topik terkait terminologi ‘skena’ yang sedang membara akhir-akhir ini. But then again, I can’t help just to write about it.

Mungkin untuk memanfaatkan tulisan ini sebagai curahan hati yang lebih maksimal, saya hanya akan mengutarakan apa yang saya rasa soal kegaduhan anekdot soal ‘skena’ ini – saya tak akan membahas penelusuran terminologi, penempatan pemakaian istilah atau pun hal-hal yang bersifat teknis lainnya. Karena saya tak peduli akan hal itu. Sudah terlalu banyak portal-portal berita atau tulisan lainnya yang membahas hal itu dengan gaya mereka sendiri. Tak perlu saya menambahkan energi berlebih untuk kembali menjelaskannya. Sekarang saya hanya ingin mengutarakan pengamatan saya yang mungkin luput dari sudut pandang dan pemahaman beberapa pihak yang sedang berbahagia karena turut larut dalam arus gelombang trending topic bullshit macam itu. Ah maaf kasar. Jangan baeud ke saya ya. Ini hanya pendapat personal.

Mungkin. Sekali lagi mungkin. Tahu apa yang luput dari semua pembahasan soal ‘skena’ yang sedang ramai itu?

Perspektif.

Mungkin apa yang sedang ramai digoreng di khalayak ramai datang dari perspektif anekdot dari permukaan gelembungnya saja. Tidak apa-apa. Toh suka atau tidak, tampilan selalu menjadi impresi awal dari berbagai interaksi yang terjadi. Bak sebuah etalase di sebuah pakaian, apa yang terlihat dari luar jendela kaca kadang tak selalu menjelaskan apa yang sebetulnya terpampang dan dilihat oleh banyak orang.

Mungkin karena keniscayaan pola pikir dan arus informasi yang memang sudah terlalu dinamis seperti sekarang, perspektif akan istilah ‘skena’ yang terkuak dan dieksploitasi oleh para media populis dan para pengguna salah satu platform media sosial favorit masa kini itu hanya sebatas permukaan saja. Lagi-lagi, apa daya soal hal itu? Zaman dan pola pikir manusia berubah seiring perkembangan teknologi dan pola komunikasi setiap generasinya. Maka semua kegaduhan ini tentu tak bisa dibendung karena populis selalu akan menang secara jumlah.

Mungkin tulisan ini akan terlibas secara instan karena dianggap tak masuk keniscayaan pola pikir masa kini dan dianggap terlalu pretensius oleh berbagai pihak, tapi kamu berhak tahu bahwa ‘skena’ telah menciptakan beberapa sosok yang kamu nikmati karyanya. Sosok yang kamu pernah relakan waktu dan energi untuk menemui atau menyaksikan mereka berkiprah. Sosok yang bahkan memberikan pengaruh secara langsung mau pun tidak kepada sosok panutanmu yang lain untuk berada di jalurnya sekarang – dan lucunya kamu pun taat untuk mengikuti jejaknya.

Mungkin di luar semua anekdot starterpack dan racauan konten-konten Tiktok akan ‘skena’, kamu tak pernah tahu bahwa ada banyak orang yang bergumul di skena memperjuangkan banyak hal – tak sekedar isapan jempol yang termanifesto di caption Instagram atau bio Bumble. Ada yang memperjuangkan ide mereka akan keadilan berpolitik dan kehidupan sosial di dalamnya – yang kemudian mereka perlahan tata di kehidupan luar ‘skena’ untuk mencapai ide-ide tersebut. Ada juga yang memperjuangkan dirinya sendiri lewat berbagai medium katarsis macam musik, gambar, film atau kegiatan lainnya yang dia lakukan demi memanusiakan dirinya sendiri di dunia yang rotasinya semakin tak terkendali namun mengikat. Etalase yang kamu tatap mungkin tak pernah akan menampilkan sisi tersebut ketika kamu tak punya dorongan akan hal itu. Well, that’s fine. Who am I to judge?

Mungkin memang karena perubahan pola komunikasi yang terjadi di era ini begitu radikal dan segamblang itu untuk beropini lewat channel media sosial internet pada masing-masing individu, anekdot akan ‘skena’ yang kemarin sedang ramai sudah terlanjur basah. Belum lagi kini dengan algoritma internet sudah memiliki kekuatan sihir kuat-bin-mampus ala kekuatan Voldemort yang bisa membombardir Hogwarts kalau tidak dihentikan oleh Harry Potter, konten anekdot itu akan mudah menyebar dan mempengaruhi para pengguna platform internet yang terpapar akan konten itu. Tapi apa itu artinya kita harus kalah dengan keadaan dan keniscayaan? Bagi saya rasanya tidak.

Mungkin kami atau siapa pun yang dari dahulu sampai hari ini masih ber-skena-ria tak akan menjadi kecil hati oleh anggapan warganet yang mendiskreditkan berbagai kegiatan, konsep dan karya yang menjadi modal hidup kami sebagai manusia. Karena kami rasa, ‘skena’ pun memberikan kontribusi yang wahid untuk hidup kami di luar kekaryaan: perspektif. Lagi-lagi. Tapi sialnya bagi saya dan beberapa kawan di sini adalah hal yang nyata.

Mungkin karena saya dan beberapa kawan di sini merasa sudut pandang alternatif tak mungkin didapatkan di pola komunikasi dan interaksi kehidupan masyarakat populis, ‘skena’-lah yang menjadi tempat bernaung kami untuk mengenalkan kami akan berbagai konsep yang kami anggap sebagai pegangan dalam menjadi manusia ‘baik’ versi kami. Konsep DIY, memahami seni, keindahan tangkapan citra lewat media analog, guratan pena yang menorehkan berbagai ide dan cita-cita, raungan gitar, mix and match fashion, produk pola pikir alternatif macam ‘straight edge’, diskursus soal karya. Semua itu hanya sekelumit dari banyak hal yang kami dapatkan di skena – mungkin terdengar pianjingeun, tapi semua itu bukan tentang penilaian daftar putar Spotify dan cara berpenampilan. Ada baiknya poin yang ini bisa kamu garis bawahi sebagai bahan lamunan sambil merokok di berbagai kesempatan ketika kata ‘skena’ muncul di dalam benakmu.

Mungkin ‘skena’ kini kerap kali hanya dianggap sebagai produk fantasi para masyarakat populis tentang sebuah stereotip yang fungsinya untuk ditertawakan saja. Tapi tak banyak yang tahu bahwa ‘skena’ pun memberikan kami kesempatan untuk menjalani hidup sesuai dengan apa yang kami ingin lakukan di dalam hidup ini – meski entah ikhtiar kami berhasil atau tidak. Kawan-kawan di skena yang ingin berfokus untuk membuat musik ada yang sangat serius sampai akhirnya mereka bisa menghidupi keluarganya lewat memainkan musik yang mereka suka. Dari sudut kawan-kawan penggiat video dan audio pun ada yang berhasil hidup sampai hari ini dari jasa mereka untuk menyokong dua aspek itu berbagai pertunjukan atau pameran atau apa pun itu – yang lucunya jasa mereka pun digunakan oleh masyarakat populis yang menertawakan ‘skena’.

Mungkin apa yang saya tulis tentu akan didamprad oleh puritan skena lainnya karena terkesan picisan dan membuka tabir yang seharusnya tak perlu dikemukakan, tapi saya rasa biarkan perspektif saya akan ‘skena’ ini mengambang di lautan gelembung opini lainnya soal hal ini. Biarkan mereka tahu bahwa ‘skena’ adalah sebuah hal yang nyata. Sebuah hal yang memberikan makna bagi beberapa orang lain di luar sana yang kebetulan memilih untuk menjalani hidup seperti saya sekarang.    

BACA JUGA - Nostalgia Bukanlah Proyeksi (Personal) Buku Don’t Read This

Prabu Pramayougha

Prabu Pramayougha adalah seorang musisi dan penulis musik. Dia seringkali ditemukan berbicara dan memainkan gitar secara sembrono di atas panggung bersama unit punk rock Saturday Night Karaoke. Dia pun baru saja menerbitkan sebuah buku berjudul Don’t Read This! : Catatan Melodic Punk Bandung Dari Masa Ke Masa di tahun 2022.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner