Metal adalah Budaya Baru Indonesia

Metal adalah Budaya Baru Indonesia

Begitu pun dengan ekspresi kesenian yang hadir di tengah anak muda kota Bandung. Musik underground yang sebelumnya dinyatakan telah mati oleh industri musik dan tidak mendapatkan perhatian industri media kembali muncul dengan ekspresi yang berbeda. Dalam teori kebudayaan yang digagas oleh J.J Honingmann mengatakan bahwa ada tiga wujud kebudayaan, yaitu ide, aktivitas dan artefak. Proses lahirnya kembali musik underground di Bandung dan Indonesia pada umumnya tidak terlepas dari tiga parameter wujud kebudayaan. Lahirnya ide sebagai sesuatu yang intangible menyangkut bagaimana cara memproduksi karya secara DIY, mengorganisir konser dan pertunjukan dan strategi community development yang diterapkan di tiap komunitas adalah bentuk dari implementasi ide. Sementara, “aktivitas” sebagai sesuatu yang tangible atau bisa dilihat dari konser konser kolektif yang digelar, aktivitas ekonomi yang dilakukan secara gerilya melalui lapak lapak di tiap konser menjual aneka pernak pernik band dan makin menjamurnya distro disetiap kota di Indonesia. Temuan artefak dalam musik underground di Indonesia bisa dilihat dari font band, merchandise dalam aneka bentuk produksi seperti kaos, topi, celana dan aneka barang konsumsi lainnya maupun aneka judul fanzine yang diterbitkan secara swadaya komunal maupun individu.

Lalu, seperti apakah musik underground Indonesia jika memang semua parameter kebudayaan yang secara teori telah memenuhi syarat sebagai bagian dari kebudayaan? Bukankah kata “underground” bersama semua elemennya berasal dari luar Indonesia? Jika kita kerucutkan lagi pertanyannya “seperti apakah musik metal underground Indonesia?”, menurut Kimung seorang sejarawan dan aktif melakukan riset budaya dan musik di Indonesia, musik metal Indonesia adalah musik metal yang dimainkan di Indonesia oleh orang Indonesia. Menurut teori kebudayaan, usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat mengembangkan atau memperkaya kebudayaan itu sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Analoginya adalah musik dangdut yang jika dirunut pola dan arah migrasinya berasal dari kebudayaan India. Ketika musik dangdut hadir di Indonesia dan dimainkan oleh orang Indonesia dan ekspresinya mampu merespon segala dinamika sosial yang terjadi ditingkat lokal maka musik dangdut menjadi musik asli Indonesia.

Persoalan inilah yang muncul kepermukaan ketika Indonesia secara resmi ditunjuk oleh pihak Wacken Open Air, Jerman untuk menggelar Wacken Metal Battle Indonesia (WMBI). Secara umum, WMBI adalah ajang kompetisi band ekstrim metal berskala nasional yang akan memilih satu wakil dari Indonesia untuk tampil dan berkompetisi dengan 29 band dari 29 negara di ajang Wacken Metal Battle Internasional. Pihak penyelenggara WMBI yang diwakili oleh juri nasional dan internasional dituntut untuk mampu memilih satu band yang mampu menjadi representasi musik metal dengan rasa Indonesia. Apalagi, ajang kompetisi tersebut digelar di Jerman yang menjadi tuan rumah bagi musik metal itu sendiri. Karena, jika bicara kualitas musik metal di Wacken Metal Battle Internasional, maka semua band yang tampil adalah band dengan musikalitas terbaik. Tentu, yang harus ditonjolkan adalah rasa Indonesia yang kaya dengan nilai-nilai budaya lokal darimana band tersebut berasal.

Tahun 2018 yang terpilih berdasarkan penilaian tim juri mewakili Indonesia untuk tampil di ajang Wacken Metal Battle International adalah Down For Life dari Solo. Mereka dianggap menjadi representasi musik metal Indonesia dan layak menjadi duta untuk memperkenalkan musik metal Indonesia di tingkat global. Panggung Wacken Open Air adalah sebuah tontonan dengan musik metal sebagai sajian utamanya. Dalam teori Guy Debord “The Commodity as Spectacle” (komodifikasi tontonan) adalah sesuatu yang membalikan kenyataan “yang terlihat” menjadi sesuatu yang luar biasa. Tontonan di sini bukan lah pesan atau makna yang disampaikan oleh media komunikasi mainstream seperti televise dan lain sebagainya, namun bagaimana segala bentuk macam komoditas dalam pengertian lebih luas seperti panggung musik, lengkap dengan segala atributnya termasuk penampilan band dan aksi panggung musisinya. Yang pada akhirnya membentuk pola pikir masyarakat menjadi tidak sekedar mengkonsumsi manfaat dari sebuah produk komoditi, namun juga mengkonsumsi nilai “to be looking at” dalam kesehariannya. Karena, hari ini kebenaran adalah apa yang kita tonton. Semoga Down For Life bisa hadir tidak hanya sekedar tontonan namun juga bisa menjadi tuntunan. Hadir dan tampil di Wacken Open Air sebagai band yang memang mempunyai spirit lokalitas dalam karya nyata tidak hanya sekedar gimmick sebagai bagian dari pertunjukan untuk memuaskan dahaga masyarakat penonton.

Ranah musik bawah tanah Kota Bandung tidak akan pernah sama jika Addy Gembel tidak hadir di era '90an. Bersama grup musik ekstrim yang dinamai Forgotten, ia lantang menyuarakan tentang hal-hal provokatif dan kontroversial, dengan dua jenis pilihan bahasa: frontal dan sangat frontal.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner