Mengapa Saya Menggawat-gawatkan Black Metal? (Bagian 2)

Mengapa Saya Menggawat-gawatkan Black Metal? (Bagian 2)

Semua itu tak lepas dari ekosistem yang mereka tempati, dan tak mungkin tidak menggunakan referensi. Penggunaan referensi mengindikasikan adanya kesadaran dari melakukan sesuatu. Simpelnya, selalu berlangsung proses belajar dan beraksi secara simultan. Karena, dari situ akan muncul hal yang konkret, bukan artifisial, bukan tempelan, bukan atas nama pasar. Pasar yang mana? Pasar yang sering kita sindir, tapi juga kita kagumi.

Kecurigaan saya terletak pada model pergerakan mereka yang bisa saja menggunakan black metal sebagai salah satu alat atau medium. Varg Vikernes telah mengilustrasikan itu dari rentang periode kehidupannya. Baginya, ia punya misi membangkitkan kejayaan Eropa, khususnya Norwegia dari sejarah paganismenya. Jejak-jejak seperti itu juga sudah timbul semenjak kematian Dead dan Euronymous, yang mana secara perlahan banyak band di sana yang meninggalkan satanisme dan mengibarkan bendera paganisme.

Bisa dimaklumi, kalau fase awal belajar adalah meniru. Menyukai sesuatu atau terinspirasi dari situ, yang pertama dilakukan adalah tampil semirip mungkin. Kalau bisa sama persis. Begitu juga dalam konteks black metal. Habis-habisan berdandan seseram mungkin dengan corpse paint serta melakukan aksi panggung yang super duper jahatnya. Sayangnya, di masa kegilaan Euronymous, banyak yang berkomentar kalau sang gitaris ini terlalu banyak asap namun tak ada api. Tapi, ia berhasil menancapkan salah satu tonggak black metal dari Norwegia ke berbagai belahan dunia bersama rekan-rekannya. Meski diam-diam, sebagian dari kita juga sepakat kalau tak ada black metal selain di Norwegia.

Dan di sini, apa kita akan puas kalau berhenti sampai pada meniru, mengimitasi, dan melanggengkan warisan stigma-stigma usang tentang black metal dan dunia bawah tanah? Apa seseorang memainkan musik black metal karena ada embel-embel metal-nya? Karena dianggap lebih berani, garang, punya sisi terliar? Begitu sudah berdandan sedemikian rupa di panggung atau area publik, jangan-jangan kita malah dianggap fans-nya Kuburan Band?

Ini lah mengapa saya sampai harus memberikan pengandaian semisal Mayhem tak pernah merintis black metal, tapi dalam konteks bahwa mereka sedang mengangkat sesuatu yang lebih mendalam, sangat krusial, dan genting di Norwegia sana, pada masa itu. Misal, mereka memilih tak bermain musik seekstrim itu, tapi dengan syair yang tetap kuat, apakah mereka masih dilirik? Misal, sebagian dari mereka tak memilih main musik metal namun tetap membakar gereja dan saling bunuh-bunuhan, apakah efeknya akan sama seperti sekarang?

Hernandes Saranela

Hernandes Saranela merupakan pembuat film personal di bawah bendera kolektif Cinemarebel Yogyakarta. Vokalis dari band Punk DEMSTER & band Pagan Metal ENUMA ELISH. Juga menjadi pengajar film dan akting di salah satu kampus di Jogjakarta.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner