Mati Ketawa ala Tani Maju (Bagian 2)

Mati Ketawa ala Tani Maju (Bagian 2)

Hari ini Tani Maju seperti mengalami masa puber yang entah ke-berapa. Setelah sekian lama tidak terlalu terdengar, sekarang mereka sudah mulai aktif kembali. Tani Maju baru saja membentuk manajemen yang lebih rapi. Merancang program yang lebih tertata. Mereka juga baru menerbitkan situs resmi yang serius dan cukup informatif. Jadwal manggungnya pun mulai padat dan merayap.

Kabar baiknya, Novan dkk juga telah merilis album ke-empat yang bertajuk Beda Topi Miring Bersama. Album barunya itu cukup seru. Memuat kolaborasi musik dengan para 'Artis Top Daerah' seperti Nganchuk Crew, Kidnep Flanella, Intenna, Monohero, sampai Chipenk (Begundal Lowokwaru). Tempo hari, konser peluncuran album barunya itu berjalan seru dan pecah – turut dimeriahkan oleh Iksan Skuter, Tropical Forest, dan para kolaborator di albumnya tadi.


Didit Prasetyo bikin video kolaborasi unik antara musik dan sepakbola untuk singel anyar Tani Maju. Kedua hal tersebut selalu menjadi identitas unggulan kota Malang.

Sekian lama Tani Maju sudah mewarnai blantika musik lokal di Malang. Jika urusannya adalah dampak musikal, maka Tani Maju sudah bisa dibilang telah menancapkan legacy di kotanya. Gaya Novan dkk paling tidak sudah menginspirasi band-band seperti Sumber Kencono dan Tahu Brontak untuk mengusung gaya yang sejenis – baik dalam musik, lirik, maupun aksi panggung.

Saya sendiri sudah beberapa kali membeli kaset Tani Maju album Marqipat (2009) yang bersampul Tugu Kota Malang itu. Sengaja saya beli soalnya cocok buat oleh-oleh atau bingkisan bagi kawan di luar Malang. Bagi saya, karya Tani Maju itu cukup pas menjadi produk kearifan lokal kota Malang. Opsi terbaik selain kopi Sidomulyo atau kripik tempe Sanan. Lagipula masih jauh lebih otentik dan berfaedah daripada Strudel bergambar Teuku Wisnu yang sama sekali bukan khas dari Malang itu.

Saat ini personil Tani Maju sudah bukan mahasiswa lagi. Mereka sudah bekerja dan membina keluarga kecil. Bahagia dan sejahtera. Namun Novan dkk tetap menjalani kehidupan berkesenian yang alami dan dinamis bersama Tani Maju. Mereka juga masih mudah ditemui di sejumlah tongkrongan dan warung kopi sederhana.

Selain bersenandung, Novan juga menjalani profesi sebagai pelukis dan beragam aktifitas dalam kegiatan seni rupa. Gitaris Joni yang hanya mau pakai gitar Fender itu adalah guru seni di sebuah sekolah menengah yang berupaya menularkan musik grunge dan Sonic Youth kepada murid-muridnya. Personil Tani Maju lainnya adalah Sri Wahyudi (vokal dan gitar) yang kadang nyambi jadi MC, Leo Zainy (ketipung dan vokal latar), Wibi Wardhani (bass), Koes Teguh (drum dan vokal latar), Ervin Plecky (keytar dan vokal), serta Kaji Agus (ukelele, violin, dan cello). 

Hampir sembilan belas tahun sudah usia Tani Maju sekarang. Ini sudah jauh melampaui status mahasiswa mereka. Hal itu sekaligus mematahkan mitos klasik bahwa “band kampus hanya mampu bertahan selama masa studi mereka, dan biasanya bubar selepas lulus kuliah”. Dalam kasus Tani Maju, asumsi tersebut sangat kontra-produktif dan tidak relevan sama sekali.

Lalu apa resepnya hingga Tani Maju bisa bertahan selama ini?

Uhm, sebaiknya tanyakan langsung saja pada Novan dkk. Saya pikir mereka cuma tidak punya alasan yang bagus untuk memutuskan berhenti atau bubar. Itu saja.

Lantas, apa lagi yang mau dicapai Tani Maju dalam karir musiknya sekarang dan ke depan?

Mungkin jawaban diplomatis dari mereka adalah asal bisa tetap berkarya dan bersenang-senang. Memang sesungguhnya tidak ada jawaban yang lebih baik daripada itu. Sembari menjaga ke(tidak)warasan layaknya apa yang sudah mereka jalani sedari dulu. Ya, sesimpel itu.

Lagipula, sampai sekarang Tani Maju masih layak menyandang predikat “Artis Top Daerah”. Itu sudah terbukti, bukan sekedar di judul lagunya saja. Berambisi menembus industri musik Indonesia? Mungkin saja. Siapa yang tahu?!...

Meski mereka sendiri juga pernah bilang, “Kita ini masyarakat biasa / belum tentu jadi artis top ibukota...”

Syalalalala... Syalalalala... Syalalalala... Lalala... Syalalalala...

Samack lahir dan tumbuh di kota Malang. Sempat menerbitkan Mindblast fanzine (1996-1998) dan situs musik Apokalip (2007-2010). Tulisannya seputar musik dan budaya pop pernah dimuat di Jakartabeat, Supermusic, The Metal Rebel, Rolling Stone Indonesia, Vice Indonesia, Warning Magz, Whiteboard Journal, GeMusik, serta berbagai media lainnya. Sesekali menjadi editor untuk sejumlah buku dan penerbitan. Saat ini beraktifitas di bawah institusi Solidrock serta mengelola distribusi rekaman bersama @demajors_mlg.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner