Jakarta Vodkabilly (Part 2-Tamat)

Jakarta Vodkabilly (Part 2-Tamat)

Jakarta Vodkabilly Part 2

Keringat dan Kegilaan di Rockabilly Riot. Aksi bar gonzo, menyelinap, menyelundup, tamak alkohol, jurnalisme brutal... kode etik? Ya..Ya.. Ya... Atur sajalah.

Pada akhirnya kita semua adalah profesional. Termasuk semua paragraf pembuka yang telah bolak balik saya hapus dan tulis ulang untuk ketiga belas kalinya ini. Adalah suatu kewajiban untuk menyelesaikan ceritanya, baik bagus maupun buruk. Para editor harus mendapatkan semua ini di meja mereka dalam dua hari ke depan. Penuhi tenggat waktunya. “Writing about writer’s block is better than not writing at all,” Charles Bukowski mengatakan itu. Sial, cepat gulirkan lagi jangan berhenti, bangsat penulis malas. Tuliskan, meski itu cuma melantur, mengoceh, karangan kesana kemari, bacotan, makian, fakta, fiksi, khayalan, apapun! Bersama juga para pengantarnya; kali ini setengah isi Bombay Sapphire tanpa tonik, satu six-pack Bintang dan berjumput bunga rampai demi menjaga temperamen tetap meradang hingga tanda baca terakhir.

***

Pagi itu mata saya terbuka dengan pengar di atas tiga buah kursi yang disejajarkan sebagai alas punggung darurat. Bau muntah tercium dari arah pundak kaos. Bahkan sepatu, jaket juga kacamata masih terpasang di posnya masing-masing, tidak sempat dilepas, keburu tergeletak mungkin. Tidak ingat. Kemudian diperlukan waktu untuk terbujur mengumpulkan nyawa, saya bangun, memeriksa ponsel dengan maksud melihat jam. Tapi dia mati. Lalu mengalihkan pandangan ke dinding dan mendapat kepastian bahwa jarum pendek telah berada sedikit di atas angka delapan. Sial, ini masih terlalu pagi untuk kepala yang pening. Yang berikutnya dibutuhkan adalah sebanyak-banyaknya air putih. Jadi saya beranjak membuka pintu kulkas dan bolak balik mengisi hingga tiga gelas pasokan oksigen demi menyirami tenggorokan, yang rasanya, bangsat seperti berkarat.

Rokok kemudian membantu memulihkan ingatan – saya telah mencomot dua batang menthol dari atas meja, entah punya siapa dan duduk di beranda belakang rumah itu, yang memiliki pekarangan sangat luas, rimbun ditembus celah matahari pagi yang mulai naik. Sambil merasakan konde di kepala terus berdenyut, saya secara otomatis berusaha mengingat runtutan kejadian semalam; minum apa saja? Bagaimana caranya pulang? Di mana anak-anak? Alat-alat? Sial. Saya segera beranjak ke ruangan depan untuk memeriksa, dan berangsur lega ketika melihat mereka semua tengah terlelap saling tumpuk di sebuah kasur sofa. Begitupun peralatan, yang telah selamat tersimpan di garasi sebelah. Semoga tidak ada perbuatan fatal yang dilakukan, dan apa ini aroma muntahan saya? Tampaknya iya, tapi di mana dan kapan? Tidak tahulah. Baru ketika semua anak-anak sudah terbangun dan antusias saling bercerita tentang semalam saya perlahan menemukan jalan ceritanya.

“Belum pernah panggung kami sebrutal itu. Baru kali itu juga ada yang moshing pas kami main, parah, semalem itu main paling ramai dan rusuh yang pernah kami alamin.”

“Baru kali itu aku diangkat. Nggak berhenti-berhenti. Akhirnya aku halau mereka supaya nggak nimpa drum. Nggak pernah di Bali sebegitunya. Memang gila penonton Jakarta.” 

“Siapa itu cewek semalem yang ikut pulang di mobil kita?”

Ok. Saya butuh waktu dua hari setelah pagi pengar itu hingga sekarang ini untuk dapat mengurutkan lagi kejadiannya. Menjahit dan menuliskan semuanya di sini, dengan tentu saja batas memori yang masih bisa digapai. Ya, alkohol yang berlimpah, penonton yang membludak, udara dan keringatnya ketika Leonardo and His Impeccable Six dan The Hydrant memberi  pertunjukan rockabilly paling panas, ereksi sempurna pada sebuah bar di kawasan Selatan Jakarta. Rusuh dan bergairah – energinya, itu yang terus terngiang di kepala saya ketika mengingatnya, bahkan sampai saat ini.         

***

Semua dimulai ketika saya sudah sampai setengah jam lebih cepat di Camden Gandaria dan sedang duduk sendiri di sebuah meja panjang yang telah dipesankan di halaman belakang bar, meminta sebotol Bintang dingin untuk permulaan. Suasana belum ramai, pikir saya, jadi minum santai saja dulu sambil menunggu yang lainnya lengkap; itu malam terakhir pada November tahun lalu ketika The Hydrant gantian datang ke Jakarta untuk dua buah pertunjukan bersama kompatriot jazz-swing Leonardo and His Impeccable Six, sekaligus melanjutkan tur mereka berdua di empat titik di Denpasar pada minggu sebelumnya. Malam ini adalah yang terakhir, setelah kemarin beriringan melayani festival Monkeylada. Tak sampai sebatang rokok kemudian pelayannya datang melayani bir dan bertanya dengan suara watir.

“Mas, dari band yang main?” katanya.

Saya yang langsung mencicipi bibir botol ketika menerimanya di tangan, dengan atau tanpa alasan mengacuhkan pertanyaan barusan, sejenak memeriksa bungkus rokok dan melihat kalau batang di dalamnya tinggal bersisa tiga. “Bisa pesan rokok di sini?” tanya saya balik.

Balasannya sopan. “Rokok apa, mas?”

Saya memberi lihat bungkusnya dan diangguki. “Dua bungkus, ya. Sama sekalian empat tower Bintang. Sebentar lagi anak-anak datang, biar pada langsung minum.”

“Oh, ok... empat tower Bintang, dua bungkus rokok... ada lagi?”

“Itu aja dulu, taruh semuanya atas nama The Hydrant.” Dia mengerti.

Saya rasa itu cukup. Volume empat menara setara dengan dua puluh botol bir besar, ya paling tidak sampai dua jam ke depan sebelum menambah empat menara lagi berikut dua liquor dan naik pentas. Suplai terus. Bentuk citranya. Jika musik, itu tidak perlu dikhawatirkan, dua band ini adalah jagoannya. Mereka sudah menguasai peranannya, selama bertahun-tahun memainkan apa yang terbaik yang mereka bisa lakukan. Lagipula ini pesta rilis – khususnya bagi The Hydrant. Dan simpatisannya pasti akan ramai, seabreg penuh tamu kerabat. Oleh karena itu saya tidak rela melihat adanya gelas kosong atau mereka yang kehausan akibat kekurangan pasokan.

Dan ternyata perkiraan itu benar. Rasanya begitu cepat, hingga dalam sekejap sejak meja panjang ini terisi oleh segenap rombongan, tiga menara sudah tandas. Sementara orang-orang terus datang silih berganti, tidak berhenti menguras keran bir ke gelas masing-masing, lagi dan lagi. Ah, saya suka kerakusan macam ini, mengingatkan pada gagasan kesenangan hidup tanpa batas. Ya. Lalu apa selanjutnya?

“Dua tower lagi,” saya panggil pelayannya. Mendengar itu Christopper Lolot, pemain drum Hydrant yang duduk di hadapan saya menyahut, “Keluarin sekarang aja wiski-nya, bro.” Setuju. “Ok,” respon saya. “Jadi,” saya bilang pada pelayannya, “dua tower tambah satu Jack D dan satu Jaggermeister, terus satu pitcher coke buat campuran dan seember batu es juga. Sekalian gelasnya jangan lupa. Dan nggak pakai lama.”

Bergelas-gelas telah diambil dan kembali lagi, seluruh jajaran telah lengkap saat ini. Pun peralatan dan tata suara yang sudah saya pastikan siap sedia tinggal dihajar; Leo akan tampil duluan dalam satu kode aba-aba. Tapi tunggu sebentar, mari balik lagi ke meja demi menuntut isi gelas sebelum bekerja. Saya lihat rusa Jagger dan menara tambahan telah hadir, bersama handai tolan yang bercengkerama mengeliling dari ujung ke ujung meja. Kelihatan penyanyi flamboyan Hydrant, Marshello Lolot. Sang ‘Elvis Coklat’ sedang berdiri memperlihatkan pesona machismo dalam rockabilly, menghadapi elegan setiap teguk dari gelasnya: badan tegap, lengan kencang dan rambut tersisir licin ke belakang mirip Stallone di film Over The Top. Kulit gelap mataharinya terbungkus oleh work shirt merah tua yang membuatnya menyolok kontras di tengah bayangan remang Camden, tertawa meladeni dua orang berjaket bordir Black Angels yang khusus datang untuk menemuinya – saya mengenali salah satunya, berambut sepunggung, Stevie dari keluarga Item.

Saya kemudian mengorek ember es, menggenangkan beberapa bongkahnya ke dalam gelas yang sudah saya takar asal-asalan setara dua shot Jackie atau setinggi tiga ruas jari. Rencananya adalah, strike sekarang! Lalu beritahu Leo dan bandnya kalau kita sudah bisa mulai, kalau mau. Atau tunggu 10 menit lagi untuk empat shot berikutnya, terserah saja, kalian sedang tidak berada di festival ketat jadwal. Kalian yang bikin acara ini sendiri, jadi jika hanya 10 menit itu akan berlalu seperti 3 menit terbang bersama “White Rabbit” atau terbuai video perut Alexa Tomas.

Tapi untungnya tidak. Ketika saya mendatangi Leo – yang sedang mengobrol dengan seorang perempuan bermata sipit, saya tidak kenal – dia menganggukkan kepalanya dan selanjutnya memastikan apa efek gitarnya sudah terpasang. “Aman,” jawab saya. Tidak ada yang perlu ditunda lagi, dia datang kesini untuk bermain, bukan main-main. Lalu Leo kembali sejenak ke mata sipit tadi, sementara saya memberi kabar yang sama kepada anak-anak Impeccable. Dan dalam hitungan satu isap rokok kemudian Leo sudah siap, menghampiri saya dan minta sebotol bir untuk ditempatkan di samping ampli-nya. Dia masuk menuju orbit tampil.

Bir? Itu perkara mudah, awalnya. Di bar saya kemudian berhasil meyakinkan bartender yang berkelit jika jatah band malam itu sudah habis, untuk mendapatkan tidak hanya satu tapi empat dari delapan botol bir yang saya minta. Sial. Maksudnya, haruskah bagian terperinci seperti ini ikut ditulis di sini? Apa esensinya? Penting? Ya... selain saya malas menghapus dan mengganti alur (lagi), tapi juga tidak terlalu buruk mengingat adanya otot yang mesti keluar, meski sedikit, untuk memberi minum band yang akan bermain di depan ini.

Bartendernya yang angkat tangan kemudian melempar saya ke seorang yang sedang berdiri di samping meja kasir, mungkin supervisor atau manajer atau apalah. Itu menyebalkan karena saya sedang butuh cepat. Leo dan Impiccable Six sudah siap, dan saya tidak ingin masuk ke sana mengantarkan bir ketika musiknya telah dimulai.

“Sorry, tapi compliment buat band emang udah habis, bos,” tegas orang itu.

“Terus gimana, masa lo mau ngebiarin mereka kehausan di depan?”

“Gue bisa kasih lo air putih satu pitcher.”

“Ya kalau itu memang udah harus. Gue minta bir, air putih nggak akan menghasilkan apa-apa buat tempat ini. Butuh alkohol, lagian kalau orang-orang penuh kayak begini ngelihat band-nya minum, mereka juga pasti akan terdorong ikutan beli alkohol. Itu udah hukum alam, ayolah, kalau lo yang main pasti lo juga akan berpikiran sama kayak gue sekarang,” cerocos saya.

“Tunggu,” katanya.

Sial, hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan menunggu, terutama sekarang ini ketika Leo sudah memberi aba-aba untuk mulai dan keenam anggota bandnya telah mengikuti komando dari belakang. Sang pemain drum memulai dengan beat jingle pada floor-nya. Bangsat, saya mengetukkan jari di meja bar tanda tidak sabar. Kemana perginya keparat tadi. Mata celingukan mencari kejelasan.

“Ok,” akhirnya dia datang. “Gue cuma bisa ngasih empat botol lagi, itu maksimal. Tadi lo udah ngeluarin lebih dari enam tower soalnya,” kata orang itu. Saya menatap bajingan satu ini dengan seringai, bermaksud untuk negosiasi urat leher. Tapi juga sadar, mau bagaimana lagi, saya tidak tahu mengenai adanya pembatasan kuota bir ini dan sekarang sedang dalam kondisi tidak memungkinkan untuk kurang ajar memaksanya memenuhi permintaan. Saya mengalah, jangan hancurkan pertunjukan ini dengan emosi tolol.  “Ya udah, kalau begitu gue minta empat botol Heineken. Jangan Bintang,” balas saya. “Dan satu pitcher air putih, jangan lupa.”

Tidak ada panggung di Camden ini, band dan para penontonnya, semuanya sejajar di lantai. Jadi untuk mendelegasikan semua minuman ini ke depan saya harus menerobos jubelan badan dengan lima jari kiri mencekik empat botol dan yang kanan menggenggam kuping pitcher. Beberapa orang memberi jalan, tapi yang sebagian lagi acuh sehingga harus ditabrak. Saya sampai ketika Built To Race membunyikan sesi tiup di awal lagunya, dan sesuai permintaan menaruh satu di sebelah Leo, lalu satu lagi untuk jajaran brass, kemudian dua di belakang kibord beserta air putih khusus untuk pemain contra, karena dia tidak minum bir kalau sedang tampil.Leo and The Impecable Six

Malam berada di tangan mereka sekarang. Saya mundur ke belakang dan mengawasi pertunjukan dari kaca luar karena tidak banyak ruang tersisa di dalam. Penontonnya membludak hingga mungkin berjarak satu jengkal saja dari mikrofon Leo. Saya lalu melihat anak-anak ini, yang para usianya mungkin setengah lebih muda dari Leo dan berpikir apa musik ini terlalu dewasa untuk mereka? Siapa yang mampu sepenuhnya menikmati musik seperti ini? Mungkin orang tua dari anak-anak ini, seperti saya lihat seorang pria tengah baya sedang antusias berjoget dengan sebotol bir di depan, tapi hanya itu. Sementara kerumunan muda lainnya, meski berjubelan hanya ada sedikit yang coba mencerna. Mungkin mereka masih berusaha mencocokkan energinya.  

Tentu saja, tujuan utama kerumunan itu datang ke sini adalah untuk menyaksikan The Hydrant, murni dari bentuk rockabilly, dan Leonardo and His Impiccable Six, mereka berada di wilayah abu-abu antara jazz – swing dan rockabilly. Tapi kemudian saya merasa itu tidak penting. Sepenuhnya tidak selama musiknya mampu memancing kita untuk meluapkan gairah dansa, berjoget boogie woogie, persetan dengan teori spesifikasi genre beserta tetek bengeknya. Biarkan saja anak-anak itu, nanti mereka juga akan mengerti. 

Pada satu kesempatan Leo pernah mengatakan pada saya, “Ditegaskan sekali lagi, Leonardo and His Impeccable Six bukan band rockabilly. Basic gue tetap di swing, persis film-film Disney; old jazz 30’s, 40’s. Tapi swing ini adalah moyangnya rockabilly, jadi lick-nya sama; walking bass tapi lebih lambat, sedangkan rockabilly mainnya cepat karena mereka itu gabungan rock & roll dan hillbilly dan ada unsur country. Berhubung skena swing nggak ada, ya sudah kita nemplok di rockabilly. Beda, tapi satu roots.”

Begitulah Leo menjelaskan posisinya. Di Camden malam itu band membawakan The Rumba, membuat pinggul geremetan minta digoyang. Ada banyak senyum kemudian, alunan waltz indah yang meriah dan Everybody’s Blues mengayun sendu. Berikutnya sebagai tanda kebahagiaan tur terakhir mereka bersama The Hydrant, Leo dan rombongannya memberi penghormatan dengan membawakan Bali Bandidos di Jakarta, yang sekaligus menjadi lagu terakhir malam itu.

Satu band selesai sudah. Dan jangan biarkan keringat mengering. Saya, ketika Leo menyanyikan I’m Just a Gigolo – biasanya itu pertanda setlist sudah memasuki akhir, kembali ke meja untuk melihat keadaan sambil meminta anak-anak Hydrant untuk bersiap ambil ancang-ancang karena giliran sebentar lagi tiba. Yang pertama saya beritahu adalah satu-satunya roadie mereka, Budy, pria gembul dengan muka rengut dan tato di sekujur lengan – dia telah bersama band itu selama lima tahun – untuk segera turun tangan. Tapi dasar jiwa roadie yang sigap, ketika dia melihat saya yang memutuskan untuk mengisi gelas bir terlebih dulu baru bekerja, tiba-tiba menghampiri dan menyentak, “Hey, Rio, jam berapa ini kita main? Masih berapa lagu lagi mereka?” Saya hampir tersedak. “Bentar lagi kayaknya, Bud. Kamu stand by aja di belakang mixer sekarang, gue yang kasih tahu anak-anak habis ini,” saya menenggak gelas. “Kamu angkat nanti bas drum-nya Topper, aku yang urus bas betot-nya Adi sama gitarnya Vincent.”

“Olrait,” seringai saya. Baru saja saya ingin bergegas, satu tangan datang dari belakang meraih bahu untuk membisiki. “Tolong mintain satu tower untuk mereka,” dia menunjuk, saya menoleh, “kalau jatah kita sudah habis nggak apa-apa, bayar aja. Mereka orang-orang penting,” dia tertawa. “Yang begitu-begitu harus kita traktir.” Bahu saya ditepuknya.

Beres, laksanakan. Itu adalah sang propagandis ‘Acapulco’, Rudolf Dethu, pria yang mengurus semua pertunjukan yang terjadi di Camden malam itu, termasuk yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup dari dua band tadi saat ini. Ah, mungkin itu terlalu rumit, singkatnya, dia manajer Leonardo and His Impeccable Six dan juga The Hydrant, memayungi mereka di bawah naungan atap Rudolf Dethu Showbiz.

Kemudian sambil tetap mengawasi akhir-akhir dari penampilan Leo dan Impeccable Six, saya masuk kembali ke kerumunan. Sekarang telah hadir dua jelita kulit putih bercampur di sana. Gadis pin-up. Fantasi bergairah atas Monroe atau Bettie Page: gincu merah menyala, gaun polkadot gelap, rambut gulung yang dipermanis pita dan secuil tato menggemaskan. Mancung, tapi terpaksa saya lewati langsung menuju Gusti Adi, pencabik upright berkumis hipster Salvador Dali yang menyambut saya dengan pertanyaan penting, “Kapan kita mainnya?” Vincent Saputra, pemain gitar pendiam yang sedang duduk di sebelahnya juga mengeluarkan hal yang kurang lebih serupa, “Mumpung masih mabuk, nih. Jangan sampai ‘turun’ baru kita main.” Ya, mengerti, Vincent, adrenalin sudah mendesak untuk dideraskan. “Paling satu lagu lagi kelar, siap-siaplah,” jawab saya.

Berikutnya saya hendak memberitahu Lolot Bersaudara. Christopper masih berkutat di meja, ada Ze dan Kiki Pea juga di sana. Dia menuangkan se-sloki untuk saya ketika didatangi. “Christ, habisin minumannya, bentar lagi kita main,” kata saya. “Udah cukup. Nanti nggak bisa main aku. Habis itu baru kita minum lagi,” balasnya dengan kalimat penuh penekanan Bali totok. “Nih, buat kamu aja.” Dari warnanya yang gelap saya tahu itu obat batuk rusa, jadi kurang berminat. “Not into Jagger, aku cari wiski aja. Marshello mana?” tanya saya.

Marshello sedang duduk di tepi meja sendirian, tampak berkilat dengan pantofel fortress berwarna putih. Rambutnya serupa mahkota berjambul tersisir ke belakang. Di depan perutnya tergeletak satu tas berisi setumpuk harmonika, dan di sebelahnya ada gelas yang sudah tandas. “Bro,” katanya pelan, dia sudah tahu situasinya, “nanti minta tolong Budy suruh siapin gitarku,” lalu mengedipkan matanya dan menyelipkan pick gitar di lubang telinganya sebagai tanda siap. 

Di saat itulah saya melihat Leo sudah keluar, sekujurnya berkeringat sambil tersenyum gelak menghadapi setiap sambutan yang menyapanya di meja. “Mereka udah selesai, Shello,” kata saya langsung cabut untuk mengurusi bass drum.       

***

Yang pertama diabsen malam itu ketika Marshello sudah bersuara lewat mikrofonnya adalah, sisir. Benda keramat para slick boy, garis keras rockabilly sekaligus tren masa kini. Saya ingat Ze pernah berkoar begini ketika kami bertemu tempo hari, “Dulu aja lo semua pada bilang, ‘Ih, norak, katro, apaan sih kampungan bawa sisir kemana-mana, jadul’. Sekarang aja udah jadi tren pada slick semua, kontol-lah. Kemana aja lo?” Inilah era yang berputar kembali, batin saya ketika itu.

Balik ke Camden, setelah dua lagu berlalu, Shello yang sudah membuka kemejanya – menyisakan singlet dan suspender putih – menuntut hukuman push-up sepuluh kali bagi siapapun yang alpa bawa sisir. Lucunya, dia yang memulai duluan, meski membawa sisir; mencontohkan gerakan push-up yang baik dan benar. Lalu berdiri dan menyisir rambutnya kembali yang begajulan. Kerennya beberapa orang yang telah mendesak ke depan mengikutinya dengan hitungan dari Shello sendiri. Saya yang menyaksikan dari samping monitor gitar jelas tertawa. Saya mengerti sekarang dengan apa yang disebutkan oleh Ze tentang energi ketika menyaksikan The Hydrant; mereka meluapkannya.  Anthem Sisir Opa dimainkan.

Mungkin hanya di Camden ini di mana pertunjukan rockabilly diwarnai oleh aksi crowd surf. Tapi saya beritahu, karena memang saya tahu, body surf adalah kultur menonton musik rock di Jakarta ini. Tidak peduli apapun jenisnya. Saya pernah melihat crowd surf di pertunjukan The Upstairs yang sebenarnya cukup aneh, karena tindakan yang lebih baik dilakukan adalah berjoget geliat kejang ayan bak Ian Curtis. Tapi siapa yang bisa menolak gelegak ketukan secepat nomor ini, Jalan-Jalan di mana Topper terus memacu tempo musik The Hydrant dengan kecepatan kebut, disetir keringat, dipompa miras juga kerusuhan yang terjadi di depan mereka.

 
Jakarta Vodkabilly

Marshello diarak. Dia bernyanyi sambil menangani keseimbangan tubuhnya diantara kepala orang-orang. Gila juga anak-anak ini, pikir saya. Tidak ada jive atau boogie woogie, atau tepatnya tidak cocok dilakukan di sini, di ruang bar ukuran sedang dengan sekitar seratus orang yang beradu ombak di dalamnya. Persis gig punk, gelombang crowd surf-nya tidak berhenti. Inilah semangat rockabilly yang sebenarnya, tiga puluh tahun setelah Elvis Presley mati: punk rock. Sembilan puluh sembilan persen anak-anak ini saya yakin, termasuk Hydrant lebih mengenal Sid Vicious terlebih dulu dibanding Chuck Berry.

Bagi The Hydrant sendiri, ini adalah penampilan yang jarang di Jakarta; bar showcase, durasi bebas, penonton berjubel, liar dan panas, sekaligus dibarengi baru luncurnya Lokananta Riot, album kelima mereka yang direkam secara live selama empat hari di studio keramat Lokananta Solo. Jadi, tidak heran jika mereka main begitu kencang malam itu.The Hydrant

Cerita lainnya adalah Las Vegas. Tidak ada yang lebih mendebarkan dari keempat orang Bali ini kecuali kepastian berangkat atau tidaknya mereka ke kota itu; Jantung Mimpi Amerika, kota judi nan hewani, gemerlap bisnis seks narkoba dan rock & roll di mana sebuah festival rockabilly akbar, Viva Las Vegas telah memastikan satu tempat untuk mereka tampil pada April tahun ini. Semoga Hydrant punya cukup keberuntungan untuk dapat mewujudkan kesempatan itu sampai ke titik paling akhir.

Tapi sementara itu mari lupakan Vegas sejenak, paling tidak untuk malam Camden itu. Di barisan penonton, saya melihat wajah-wajah yang tak asing, yang saya temui beberapa minggu lalu di pesta ulang tahun Jakarta Rockabilly. Beberapa anak Sleting Down ada di sana. Juga Marbun dari Kucing Kampung, band yang saya ingat karena menggubah ulang Ace of Spades dengan gaya The Tennessee Two. Juga Henry penggagas komunitas Jakarta Rockabilly sekaligus penyanyi dan pemain banjo dari grup Celtic-folk, The Black Phinisi. Mereka ikut berjingkrakkan bersama lesatan My Music Is Rock ‘N’ Roll nomor ujung tombak yang dibuka oleh betotan bas Adi.

Suasana makin gila, di depan drum – ruang bermain mereka tidak lebih dari petak 13 meter – Adi memutar, menginjak, menunggangi upright-nya yang berukuran lebih besar dari badannya sendiri. Vincent kalem memainkan setiap melodinya tanpa cela. Di sebelah kanan Topper yang sudah bertelanjang dada berkali-kali menaiki bas drum memancing energi bar. Akrobatik rockabilly. Pada Pesta, surf yang mengingatkan pada irama Eka Sapta, Marshello mengeluarkan pesonanya, menarik seorang gadis seperti pangeran merayu pelayan bar dengan siulan maut di film-film Quentin Tarantino, mengajaknya jiving, menggodanya dengan tatapan mata, dan bahkan kalau perlu dia akan berlutut memintanya.

Cristopper The HydrantBermain tanpa setlist The Hydrant terus menerus mengurut koleksi katalog mereka. Marshello yang menentukan spontan apa berikutnya setiap satu lagu selesai dimainkan. Termasuk aba-aba untuk sejumlah cover version: Tutti Frutti, La Bamba, Route 66 kemudian sederet Elvis, Hound Dog, Blue Suede Shoes, Mystery Train, Jailhouse Rock serta nomor sejuta umat Chuck Berry, Johnny B. Goode.

Dan seperti halnya setiap seniman asli putra Dewata, The Hydrant juga menggunakan kesempatan ini untuk menggemakan perlawanan akar rumput masyarakat Bali terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa. Kasus konglomerat tamak versus nurani warga lokal atas tanah kelahirannya. Harga mati bagi mereka: Cabut Peraturan Presiden No. 51 tahun 2014 dan angkat semua tangan kiri ketika Shello meneriakkan, “Untuk semua teman-teman kita yang menjaga nusantara dan pulau Dewata, kami The Hydrant, di sini menyerukan untuk Tolak Reklamasi!” sebelum mengemut harmonikanya untuk membuka Hati-Hati Ada Proyek, satu nomor satire milik mereka.

Ya Tuhan semangat itu, saya butuh wiski sekarang. Sampai saat ini ketika pertunjukan sudah berlangsung selama satu jam, saya memutuskan keluar kembali ke meja untuk mencari angin sekaligus melihat keadaan dari kejauhan. Saya lihat ada sebotol Smirnoff yang terbuka, keparat siapa ini yang tidak menutupnya lagi sehabis menuang? Saya meraup es batu lalu menggenangkannya bening, murni. Menurut pengalaman pribadi vodka memiliki daya bunuh yang lebih cepat dari apapun kecuali absinthe, jadi saya berhati-hati menghadapinya dengan hanya menyeruputnya sekali dua kali.

Dari sini kelihatan Shello sedang menarik kabel mic-nya lebih jauh dan bernyanyi hingga ke luar ruangan untuk mengajak seluruh pengunjung Camden ikut boogie bersamanya. Saya kira Wanted Man yang sedang dibawakan. Dan saat itulah, saya ingat, ketika usai menginjak puntung rokok, sebuah lemparan plastik berisi cemilan krispi jatuh menyentuh pundak saya. Pelakunya, nyengir di belakang. Saya jelas kenal anak ini, kami baru saja berkenalan beberapa hari kemarin untuk urusan... biasa, monkey business.

“Lo sibuk banget dari tadi gua liatin,” sapanya.

“Bangsat, jamur ya?”

Dia tertawa, menggosok-gosokkan tangan ke hidungnya. “Biar enteng badannya. Lo sikat sekarang juga paling baru ‘jadi’ dua jam lagi.” Bajingan. Saya menawarkannya gelas vodka, yang langsung ditenggaknya habis. “Makanin aja pelan-pelan, hitung-hitung dorongan minum,” katanya lagi. Sialan. Baiklah, mengapa tidak? Lagipula pekerjaan sudah setengah kelar; sebentar lagi band selesai main. Lalu yang ada di pikiran adalah: setelah lagu terakhir, utus Budy angkut semua alat ke penginapan, kemudian urus pembagian keuntungan dengan pihak Camden dan beredar di sesi after show; duduk tenang di meja itu, dengan segelas wiski dan badan yang mengambang, memastikan semua anggota rombongan Hydrant dan Leonardo benar-benar telah pulang dari bar ini.

“Sorry, gue sebenernya lupa siapa nama lo,” kata saya minta maklum ketika anak itu akhirnya mengundang ke mejanya.

“Jala.” Dia menuangkan krispi tadi ke dalam sebuah gelas kosong untuk dicemili seperti kacang, sementara saya telah mengambilkan kami berdua, karena wiski-nya telah kandas, dua gelas vodka. Lalu dia bilang, “Siapa sih ini yang lagi main? Gue cuma mau mampir ke sini buat dua atau tiga gelas bir, malah rame banget. Baru aja mau cabut.”

“The Hydrant dari Bali, sama tadi sebelumnya Leonardo and His Impeccable Six.” Saya mengunyah satu demi satu ‘gorengan’ ini yang tampak tidak berbahaya karena terasa seperti bawang bertepung. “Gila, udah lama gue nggak nge-jamur. Apa ini, kerbau? Atau kuda?”

Dia menggeleng. “Gajah.”

“Ngentot.” Dan tidak ada yang dilakukan Jala selain terbahak senang.

Milik gajah adalah termasuk kasta atas dalam kancah percobaan halusinasi organisme tahi binatang. Ada yang pernah dengar tahi monyet juga bisa? Saya pernah coba domba dan berakhir dengan ketakutan dan membenci. Tendensinya merusak. Dan gajah, gelombangnya cukup kuat untuk dapat dikuasai, terutama jika dilakukan di tengah bar, di tempat seramai dan seberisik ini, berkeringat, banyak lalu lalang, banyak bicara... dan juga, sial, status saya masih dalam tanggung jawab kerja.

Menyadari itu saya memutuskan berhenti meraup dari gelas. Tapi sebenarnya juga sudah terlanjur, efek belum isi perut dan lambung yang terendam alkohol adalah kombinasi sempurna dari naluri rakus terhadap adanya kunyahan di depan mata. Ya Tuhan. Saya hanya berharap bisa menahan diri dari keringat gigilnya ketika kepala-kepala di depan saya ini nanti mulai menggelap, berpendar dan mendengung seperti segepok tawon burung hantu. Lalu beredar mengambang dan bernafas secara mengerikan, aneh mendengar dengusan orang mengomel di sekitar pikiran. Bersikap kaku dan sikap serba salah keparat itu. Sial, ini bukan waktu yang tepat untuk jamur. Semua orang juga tahu, hanya yang tolol dan gila yang melakukannya, makan tahi di Camden, mendengarkan rockabilly sambil bekerja mengurusi, menjamin tidak akan terjadi sesuatu apapun dengan rombongan band.

The Hydrant

Tapi... mari lihat dari sisi yang berbeda. Saya selalu melakukan itu. Lupakan teror paranoid barusan, itu terlalu gelap. Lawan rasa takut yang menyerang. Terlebih, ini hanya ilusi jamur, bukan apa-apa – atau anggap saja seperti itu. Genggam dia, tekan dengan geraham jika coba-coba muncul. Kuasai keadaannya. Ingat, ini bisa juga jadi menyenangkan. Lagipula semua baru akan terjadi kira-kira paling cepat satu jam lagi, jadi untuk apa khawatir. Tarik nafas, bakar rokok dan bicaralah secara normal. Ubah persepsinya. Gunakan kepekaannya demi keindahan. Yakinkan itu di kepala dan semua akan terkendali.

***

Ketika Hydrant selesai main saya sudah berada lagi di dalam di dekat Topper yang sudah mandi keringat dan sedang berdiri di atas bass drum-nya, menghajar simbal untuk menutup Bali Bandidos. Kurang lebih dua jam sudah mereka bermain. Saya segera melirik Budy, kru mereka yang juga bertugas sebagai juru foto band, memberinya kode untuk beberes alat sementara saya memanggil dan menyiapkan kesediaan mobil boks di luar.

Segera setelah semuanya aman kami kembali bercampur ke kerumunan di meja, yang sekarang sudah sangat ramai dengan melubernya orang-orang – mungkin seluruh jemaat malam ini, menghampiri, berbincang, minta foto, minta tanda tangan, minta bir, minta nomor telepon dan minta apapun yang bisa dilakukan seseorang jika mengagumi. Malam itu, Leonardo, dan khususnya The Hydrant dikerubuti hal-hal seperti itu. Dan mereka kelihatan sedang menikmatinya, tentu saja, apa yang lebih menyenangkan daripada mengetahui kalau orang-orang telah dibuat berbahagia akibat penampilan kalian. Misi pertunjukan sudah dilaksanakan dengan sangat baik, kini saatnya bersenang-senang, teman-teman. 

Semakin malam semakin girang, suplai alkohol tiba-tiba bertambah; ditraktir bos bar, pria dengan kemeja hitam dan rambut mirip Deddy Stanzah di akhir hidupnya. Menara-menara bir kembali dikeluarkan bersama dua botol Jackie untuk mengisi kekosongan udara. Pandangan menyebar. Beberapa orang mengundang ke mejanya, saya ingat melakukan satu seruput Southern Comfort. Lalu bebas menguras campur-campur hingga terdampar di sudut meja bersama Dethu, Leo dan tiga orang dari sejenis kerabat penting, mungkin perusahaan rekaman, atau booking agent. Saya hanya duduk di sana dan menguping (tidak berminat mengutip perbincangan mereka di sini).

Sementara Adi sedang memberi wawancara singkat dengan seorang jurnalis, Topper tampak menikmati minumannya bersama orang-orang yang saya tidak kenal. Vincent tidak kelihatan, pun Marshello. Dari para anggota Impeccable Six, hanya Mas Dharmo dan Ucok Pardede yang berkeliaran, yang lainnya luput pandang. Sejujurnya, gelisahnya telah datang saat itu. Jemari meringan dan tubuh presto. Racunnya mulai menjalar, tapi saya terus menerus berusaha menekannya, tidak ingin terkurung habis-habisan di tempat sempit  dan panas ini.         

Adegan yang kemudian terjadi adalah satu kelegaan tiba ketika Budi mengirim pesan bahwa semua alat telah selamat sentosa lengkap tiba di penginapan. Lalu Jala menghampiri, mengatakan dengan antusias kalau dia baru saja menghabisi seekor Pocong di kamar mandi. Gila, halusinasi macam apa itu?

Mungkin ini berbahaya, kami berdua tahu, tapi saya sumringah, tentu saja. Dan memintanya untuk menemani saya balik lagi ke sana. Selebihnya... hilang. Bukan pingsan, tapi berpendar tidak karuan. Jarak pandang terasa dekat tapi kedengarannya jauh di ujung sana. Selanjutnya hanya sedikit yang bisa diingat sekarang. Salah satunya adalah sebuah permintaan bir dari Adi untuk pacarnya di meja sebelah. Lalu terdampar di sana, menyangkut di sini, bincang oceh dan sedetik kemudian pergi. Tapi saya yakin tidak melakukan suatu tindakan yang berlebihan – jelas menahan diri. Paling banter hanya terus bolak balik beranjak mengisi gelas bir demi mengisi udara. Mungkin juga hanya duduk di sana menikmati detak jantung sambil memperhatikan lalu lalang orang dan serabutan bicara mereka. Bagi saya, apapun risiko dari kondisi yang sudah dipilih, tetap kerjakan tanggung jawabnya; itu harga matinya.

Alkohol berhasil sedikit meredam pengaruh jamur laknat ini merajalela sehingga ketika keadaan berasa makin riuh – rasanya semua orang berteriak di telinga – saya masih bisa mengingat Dethu yang tiba-tiba meraih bahu saya dan bilang:

“I’m enough, bro. It’s too much. I need to go home and get sleep,” dia tertawa matanya meredup, “please, take care of the boys,” katanya lagi.

Saya mengerti. Pria ini sudah tidak muda lagi. “Mau dipanggilin taksi?” tawar saya.

“Nggak usah. Kamu urus aja anak-anak, i can take care of myself,” dia menggengamkan beberapa lembar seratus ribu ke tangan saya sebelum cabut. “Buat bayarin minuman anak-anak sama naik taksi.”

“Olrait.”

Saya sudah tidak berminat untuk minum lagi saat ini. Bodoh dan tolol dan hina kalau sampai jackpot di sini. Dan untuk memprediksi kapan pastinya pesta ini akan berakhir, hanya ada satu cara yang bisa dilakukan: periksa keadaan alkohol di atas meja. Semakin sedikit, semakin cepat pula kami semua akan pulang, walaupun saya juga tidak keberatan jika ini akan berlangsung hingga kumandang adzan. Tapi yang kemudian saya lihat, tiga botol rusa sudah melompong. Tidak ada botol Jackie yang masih penuh, hanya ada satu yang bersisa tiga perempat terakhir. Smirnoff tandas. Dan menara bir tinggal dua lagi, diperkirakan akan segera habis dalam kurasan lima gelas.

Atmosfer kerumunan yang sudah dipekati alkohol membuat orang-orang membutuhkan udara yang lebih segar. Dalam keadaan ini saya melihat satu per satu orang pergi, mungkin untuk mencegah suasana basi menyergap. Rombongan Impeccable sudah tidak ada satupun yang terlihat. Kemudian Budy, memberitahu kalau Vincent, Topper dan Adi sudah cabut bersama beberapa teman. Saya tanya kemana, dia menjawab, “Makan babi. Nanti pulangnya dianter sama temen-temennya.”

Leo yang sedang duduk di depan saya dengan gelas vodka memanggil – saat itu saya akui gajah jahanam itu tengah datang lagi, jadi saya menekan geraham mencoba melenyapkannya. Dia meminta saya untuk membantunya mengangkat semua peralatannya ke mobil dan cabut. “Sekarang?” celetuk saya. Leo berdiri, menyalakan sebatang kretek, “Iyalah, mumpung masih kuat,” jawabnya dan lalu melesat seketika. Saya mengikutinya di belakang.

Kalian pernah merasakan kegesitan yang dihasilkan dari efek mabuk? Itulah yang sedang kami berdua rasakan ketika tengah menumpuk tas efek, sebuah tool box di atas peti merah beroda berisi ampli. Leo membawa dua gitar malam itu, yang mana satu saya tenteng dan satu lagi ditumpuk di atas peti tadi. Kami akan menarik itu semua menembus kerumunan bar menuju pintu keluar dengan cekatan. Atau lebih tepatnya buru-buru, kalau tidak mau dibilang sembrono.

Leo menarik peti roda itu di depan dan saya menjaganya dari belakang. Saya sudah memperingatkannya untuk menarik pelan-pelan karena kondisi kami berdua yang gontai. Tapi tampaknya dia tidak dengar atau cuek atau percaya diri dan terus menariknya dengan sigap. Baiklah, saya akan menyesuaikan ritmenya. Pintu keluar sudah dilewati. Tibalah di area parkir yang berlantai batako tidak rata. Tubuh saya sepenuhnya presto tanpa tulang. Roda peti pun berguncang, begitu juga semua barang yang bertumpuk di atasnya.

Sial. “Pelan-pelan, Le,” cetus saya.

Dia tidak menyahut tapi menengok ke belakang dan menyeringai. Posisi gitar sudah miring tersangkut tali tas efek yang bergoyangan hampir jatuh. Saya kewalahan menahan beban ini. Mungkin itulah satu-satunya kesalahan saya malam itu, ketika pegangan keseimbangan sudah tidak bisa dipertahankan lagi – dan saya yakin Leo juga merasakan hal yang sama – peti ampli itu akhirnya bergulingan. Menjatuhkan semua, termasuk peti gitar yang terpelanting dan membuka memperlihatkan hollow-body warna ungu tua.

Menyadari itu Leo, “Lo apain, Io?” katanya. Saya segera memunguti kotak-kotak itu dan mengunci peti gitar. “Gue dorong. Udah gue bilang, kan pelan-pelan,” saya menyengir.” Dia tertawa, entah maklum, mabuk tidak peduli atau kesal tapi malas damprat. Begitu semua barang telah masuk dan mobil Leo meninggalkan parkiran saya langsung ingat Marshello. Di mana dia? Tinggal dia yang belum saya pastikan keadaannya.

Di dalam, Shello terlihat sedang berbincang di tengah meja dengan sekitar lima orang di depannya. Gelagat wibawanya terjaga tenang, tampaknya dia senang menyambut dan meladeni orang-orang yang datang untuk mengajaknya berinteraksi setelah bermain. Saya tidak tahu topiknya, dan hanya mengawasi dari kejauhan sambil bermain-main dengan halusinasi gajah. Sudah saya katakan tadi kalau ini juga bisa menyenangkan, kan?

Ketika keadaan mulai lenggang seperti saat itu, saya secara naluriah memancing belalai panjangnya keluar. Menderaskan semua yang bisa dihasilkannya. Mendorongnya dengan nikotin sintetik sambil menghembus terus kretek seperti kereta. Cukup berhasil. Jantung kembali menjelma degup aligator dibarengi keringat dari jemari yang rasanya ingin terus meremas. Budy ada di sebelah saya menunggu aba-aba untuk pulang. Saya berpesan padanya untuk terus memperhatikan Shello, jangan sampai dia menghilang.

Namun, tanpa disangka, ketika saya merasa sudah cukup dengan segala perjamuan malam itu, satu hidangan terakhir datang di atas meja. Bangsat. Pengirimnya adalah dua orang teman baik dari sebuah grup HC punk Jakarta. Mereka baru datang, tiba-tiba nongol dengan wajah kacau tapi bersemangat menyala. Congor meracau, berusaha menjelaskan alasan mereka melewatkan semua pertunjukan malam ini. Saya lihat ketidakfokusan dari mata mereka yang  bonyok.

“Lo jangan cabut dulu, kita minum lagi,” satu suara memerintah bersama kehadiran seorang pelayan yang membawa nampan dengan enam belas shot wiski siap babat di atasnya. Gila, mereka.

“Habis makan obat apa, lo pada?” tanya saya.

“Najis, gue nggak main obat,” lalu membisiki, “gue baru nyoba LV coklat tadi sebelum ke sini dari bandara.”

Saya mengenggam tangan mereka berdua, dingin. “Ngentot, pantesan.”

Menghabisi lebih dari lima shot dalam keadaan sudah sepekat ini pasti berujung blackout, pikir saya. Di sana terlihat Shello masih asyik dengan orang-orangnya, sementara Budy menolak untuk minum – dia kru teladan, tidak minum jika sedang bertugas. “Cheers!” seru salah satu dari orang dua itu, “buat apapun, dan kehidupan yang tidak akan berhenti.” Kurang ajar. “Ya, tomorrow never knows,” balas saya. “Bottoms up!”

Tenggak!

Dan tenggak lagi. Lalu lagi. Bincang celoteh, kemudian satu lagi. Jarak pandangan mulai sejengkal, gajah dibikin malu pulang ke kandang, gadingnya menumpul. Tidak ingat berapa sloki lagi yang saya telan, tapi habis sudah enam belas jamuan tadi. Saya menyadari Budy sudah tidak ada lagi di samping saya. Tapi Shello masih samar-samar terlihat.

“Pindah ke depan, yuk! Temen-temen gue buka Jack D di sana. Malam masih panjang, kali.” Dasar, bajingan dosis tinggi. Orang-orang seperti ini tidak pernah cukup sebelum mereka kandas mencium lantai. Saya mengatakan akan menyusulnya nanti. Bukan apa-apa, kepala saya sudah goyang, dan saya pantang tumbang, tidak malam ini. Saya harus menenangkan diri dulu sejenak. Bangsat, memang anak-anak itu.

Tapi duduk sendirian dalam keadaan seperti ini malah membuat otak lebih cepat karam. Jadi saya memutuskan untuk bergabung ke depan demi mencari teman untuk diajak bicara mengaburkan gelagat rontok dan sengaja melewati meja Marshello untuk sekadar memberitahu kalau saya masih ada, menunggunya di depan.

Tempat anak-anak tadi berada di samping meja bilyar dekat dengan satu-satunya pintu keluar dari Camden sehingga memudahkan saya untuk mencegat Shello, orang terakhir dari rombongan yang masih tersisa di tempat ini. Budy? Dia tidak akan pergi tanpa Shello, jadi aman. Duduk di bangku saya menyender pada sandaran mengikuti koaran yang tersaji di meja. Satu shot lagi disodori, entah kenapa mungkin naluri, hingga saya memutuskan tetap menenggaknya. Hasilnya kepala berputar. Belum juga wiski itu melewati kerongkongan, lidah saya sudah tak kuasa lagi menghadapi ketajaman cairan-cairan ini. Asam lambung naik. Saya kemudian muak dan meludahkannya kembali ke lantai. “Bangsat lo semua!” sentak saya. Tidak ada yang mereka lakukan selain tertawa gembira.

Kemudian udara semakin merunduk, saya tidak punya pilihan selain menjemput Shello dan mengatakan kalau ini sudah waktunya untuk pergi. Itupun kalau dia mau. Tapi begitu saya sampai di mejanya batang hidungnya sudah tidak kelihatan. Bangsat, kemana dia? Perut bulat Budy pun tidak tampak. Sial, mungkin daya lihat sudah menurun tapi posisi saya tepat berada di pintu keluar. Saya yakin tidak melewatinya kalaupun mereka sudah keluar dari bar ini.

Coba cari ke kamar mandi: nihil. Saya bolak balik keluar masuk mencari ke sekeliling juga tidak ada. Kurang ajar. Kemudian mencoba kalem dengan duduk kembali ke meja untuk menghubungi ponsel dua orang itu. Ya Tuhan, puji setan, telepon saya mati, dan rasanya terlalu nyeret untuk meminjam charger dengan orang-orang yang juga sama mabuknya ini. Melihat gelagat panik sok tenang dari gestur saya, seorang perempuan di meja itu mendekatkan kepalanya, bertanya.

“Kenapa lo?” dia mendorong segelas wiski kola.

“Nggak. Kelar gue, cukup,” tolak saya. “Tapi boleh minta rokok lo nggak? Gue kehabisan.”

Dia menyulutkan sebatang. “Thank you. Eh, lo sempet lihat dua orang lewat sini nggak?” kata saya, “gue lagi nyari vokalisnya The Hydrant.”

Jawabannya sepolos matanya, “Gue nggak tahu The Hydrant, apa itu? Band?”

Ok, baiklah. “Iya, rockabilly dari Bali. Vokalisnya kekar, agak gelap pake singlet dan pantofel putih. Lihat?”

“Nggak, sih,” katanya. “Lo kenapa nyariin dia? Mau minta tanda tangan, ya?”

Saya tertawa sambil terus sigap mengawasi sekitar, beradu fokus dengan vertigo. “Gue harus memastikan mereka balik ke penginapan. Bangsat, di mana orang itu?”

“Kenapa emang? Biarin ajalah, udah gede juga kan dia,” cerocosnya. “Oh, atau lo semacam seksi transportasi dari panitia acaranya, ya?”

Saya akhirnya menenggak wiski yang tadi ditawarkan perempuan ini. “No. I’m the fuckin’ road manager.”

“Terus?” Perempuan ini berkulit putih dan menawan, saya tahu dia mencoba ramah tapi alkohol telah membuatnya lemot dan banyak tanya.

“Terus,” balas saya, “ya gue harus....” saya berhenti. Seketika itu saya melihat perut gembul Budy tergopoh membuka pintu diikuti Marshello berjalan keluar di belakangnya dengan sikap terburu sambil melirak-lirik ke sekeliling. Mata yang meredup ini langsung terbeliak. “Nah, itu dia. Gotta go... sampai ketemu lagi,” segera cabut tinggalkan perempuan yang bahkan saya tidak sempat tanya namanya itu.

Aman, sudah. Saya tepuk pundak Shello dan dia memperlihatkan ekspresi wajah yang juga lega begitu menemukan saya. “Hey, Rio. Pulang naik apa kita ini?” semprot Budy seketika. “Tenang, gue udah pesenin limousine. Ada yang mau makan dulu?” jawab saya mencoba terlihat normal tidak ada masalah.

“Kleeng!” makinya.

Dalam perjalanan pulang ke Ragunan tempat band menginap saya minta permisi kepada seisi penghuni mobil untuk merokok dan berusaha melihat dengan pikiran lebih terang. Tapi tetap tidak bisa. Kepala sudah berat untuk dapat melakukan itu. Pandangan terlalu kabur untuk menangkap lalu lintas sekitar. Pengaruh jamurnya sudah hilang saya rasa, sekarang genangan alkohol yang mendominasi, mulai menenggelamkan kepala yang busuk ini. Demi melepaskan genggamannya dan menahan diri dari ancaman kegelapan muntah, saya mencoba fokus menatap api rokok beserta asapnya yang berterbangan pelan keluar kaca jendela. Ketika supirnya menanyakan arah tujuan, saya menyentak tanpa sadar. “Pokoknya ke arah Kebun Binatang, deket situ. Nanti saya kasih tahu lagi kalau sudah di sana. Ngerti? Udah, jalan aja yang penting!” 

Kemudian satu visi keluar, sekarang, dari mulut Gusti Adi si tukang betot contra itu: “Kita, rockabilly itu percampuran antara rock n’ roll, hillbilly dengan beat shuffle bertempo cepat. Format band dibuat seminimal mungkin dan bisa dikatakan semi akustik. Pengaruhnya berasal dari tahun 50an, tahun di mana rockabilly muncul di medan persilatan dengan hotrod, slick/pomp, rolled up jeans, white tanktop, Harley jacket, gadis pinup, sisir.”

Saya ingat ingin meresponnya dengan ini, “Elvis keluar di tahun 55’ lalu anak-anak muda jadi gila. Berikutnya Chuck Berry, Jerry Lee, Bill Haley ada di TV nasional. Iblis-iblis itu membuat dunia berubah lebih indah dan bernyali. Jadi berani menolak wamil, menolak dikirim ke Korea, menolak diminta untuk membunuh orang demi kejayaan patriotik negaranya; di usia 21 tahun diperintahkan pergi ke tempat pemandian darah? Bayangkan itu. Mereka sudah cukup muak dengan kematian dan kesedihan akibat perang. Tahun 50an adalah tahun di mana perlawanan kultural besar-besaran dimulai. Menurut gue itu jawaban atau sikap anak muda yang waras dari kebijakan rakus politik pemerintah. Politik adalah seni dari para babi untuk mengontrol masyarakat, seperti halnya televisi dan internet sekarang. Dan kita adalah setiap korbannya.”

Tapi semua kalimat itu baru keluar di sini karena saya lebih memilih diam ketika Adi terus merentetkan ocehan berikutnya: “Attitude rockabilly itu aslinya melawan atau biasa disebut counter culture di mana yang dilawan adalah gaya-gaya borjuis, mapan dan politik. Seiring waktu semangat rockabilly akhirnya berevolusi di mana sebelumnya melawan lifestyle mainstream dan sekarang sudah mencakup isu lingkungan juga kesadaran sosial terhadap kekuatan sewenang-wenang.”

Persis. Musik, kita mendengarkannya, memainkannya dan memahaminya bukan hanya sekadar alat untuk bersenang-senang, cari teler dan bersenggama. Meskipun juga efektif. Misinya bisa jauh lebih dalam dari kedangkalan macam itu. Dan bagi kalian yang sudah sanggup membaca sampai sini, mari sebarkan itu lalu minum untuk merayakan kebahagiaan, kebaikan juga kedamaian bagi mereka jiwa-jiwa marah yang sekarat. Saya sudah selesai.

<

Foto kredit : Budi SB

Rio Tantomo

Penulis dan Bermain Drum untuk Aksiterror

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner