Geliat Musik Bali: Kecil, Kuat, Berbahaya
Mengapa bisa seperti tiba-tiba legiun musisi Bali keras menghentak belantika musik Indonesia? Dari sepengamatan saya terpapar beberapa faktor penting:
1. Bali Tolak Reklamasi.
Bisa dibilang nyaris semua musisi-musisi yang diidolakan di Bali turut berpartisipasi aktif di gerakan sosial ini. Mulai dari yang generasi lawas hingga milennial. Barangkali karena merasa senasib sepenanggungan, sama-sama berjuang untuk keselamatan Bali, dan kompak melawan kekuatan besar serta menakutkan, respek satu sama lain antar musisi tumbuh secara alami dan mempererat hubungan pertemanan. Berdampak kemudian menjadi saling mendukung dalam soal berkesenian. Yang namanya gontok-gontokan, saling sikut, apalagi permusuhan antar musisi, hampir tidak ada, nyaris nihil. Sangat harmonis. Situasi sehat macam begini menjadi dasar kuat dalam mencapai kemaslahatan skena musik.
2. Berlimpah Ruang Ekspresi
Tempat-tempat untuk unjuk gigi ada banyak bertebaran di Bali serta cenderung mudah diajak bekerjasama. Di sekitar Sanur ada Rumah Sanur, Taman Baca Kesiman, serta baru saja selesai direnovasi: Antida Sound Garden. Di seputaran Denpasar ada Two Fat Monks, Rumahan Bistro, serta CushCush Gallery yang sesekali menyelenggarakan sesi akustik. Jauh di Selatan, Uluwatu, Single Fin cukup sering menampilkan musisi-musisi lokal Bali. Di Kuta ada Twice Bar dan Hard Rock Cafe. Di Canggu terdapat Gimme Shelter, Sunny Cafe, Deus Ex Machina, Old Man’s, juga yang baru saja buka: Backyards. Setiap tempat yang disebut barusan semuanya amat terbuka dan nyaris tanpa birokrasi ribet kalau mau menggunakan tempat tersebut untuk, misalnya, pesta peluncuran album. Tinggal kontak dan cocokkan jadwal serta urusan penjualan tiket, bagaimana pola pembagian keuntungan. Gampang, ringan, lancar.
3. Intensitas Konser yang Frekuentif
Bisa dibilang selain di klub dan kafe yang membuat pertunjukan musik secara reguler, acara-acara konser lainnya (korporat, pensi, ulang tahun banjar, dll) hampir pasti ada di setiap akhir pekan. Entah di jantung kota Denpasar, di Sanur, Nusa Dua, Ubud, Kuta, di banyak penjuru di Bali. Ada terus. Sampai sering bingung memutuskan bagusnya pergi ke pertunjukan yang mana.
4. Fenomena Hijrah
Bejibunnya anak-anak muda yang hijrah di kantong-kantong kreatif macam Jakarta, Bandung, dan Jogja, membuat gairah bermusik di kota-kota tersebut terkesan agak menurun. Anak-anak mudanya lebih sibuk mengurusi agama. Malah, sebagian lagi, memusuhi musik, mencapnya haram. Ini sedikit “membantu” Bali mengisi kekosongan kreativitas di skena musik anak muda. Bali adem saja menjunjung tinggi rock and roll tanpa lupa pada kewajiban beragama/sisi kultural sebab sedari dulu telah terbiasa menjalankan dua hal tersebut secara beriringan. Pergi ke tempat ibadah jalan terus, aktivitas rock and roll pun berlangsung biasa.
Nah, jika pulau sekecil Bali saja bisa lantang bersuara di belantika musik Indonesia, bagaimana dengan daerah kamu?
Selamat Tahun Baru 2019!
Comments (0)