Gaung Musik Kontemporer, Sebuah Pilihan atau Sekedar Pelampiasan

Gaung Musik Kontemporer, Sebuah Pilihan atau Sekedar Pelampiasan

Horizontal dan Spiritual
Apakah menonton sebuah pertunjukan orkestra memerlukan sesajen dan harus menunggu waktu tertentu menurut hitungan para cenayang agar pertunjukannya berjalan lancar? Tentu tidak. Apakah sebuah opera akan mulai dipertunjukan setelah pukul 12 malam dan berakhir ketika adzan subuh berkumandang? Sama halnya dengan Ronggeng Gunung, tentu tidak. Namun, ketika menonton sebuah pertunjukan wayang di Indonesia, di sana selalu terdapat sesajen dan hal lainnya yang tidak ditampilkan dalam pertunjukan wayang tersebut. Seni pertunjukan di Indonesia, dalam hal ini yakni seni tradisi, selalu bersifat integral. Di Nusantara atau di Indonesia, dulu tidak mengenal istilah “musik”, yang ada hanya Sekaten, Ngalaksa, dan upacara lainya yang menghadirkan bunyi, tari dan rupa sekaligus di dalamnya. Ronggeng atau Ubrug pun tidak disebut sebagai pertunjukan seni tari, walaupun unsur tarian menjadi substansi yang dominan di dalamnya.

Musik kontemporer, merupakan sebuah musik yang penuh dengan perspektif subjektif dan determinasi yang hingga kini masih diperdebatkan pengertiannya. Sulit sekali mencari indikator dan standarisasi sebuah musik bisa dikatakan sebagai musik kontemporer. Namun, jika merujuk pada arti katanya sendiri, kontemporer yakni berarti “kekinian”, yang berarti juga “baru”, terlebih jika musik kontemporer disandingkan dengan istilah avant garde music, ini akan memakan lebih banyak waktu lagi. Musik atau musik kontemporer, apa itu? Bunyikan dan dengarkan saja!

Mengapa dalam tulisan ini dipaparkan terlebih dahulu periodisasi perkembangan musik di Barat dan contoh sifat seni pertunjukan di Timur secara umum, tujuannya agar setidaknya kita mengingat terlebih dulu perkembangan musik yang sudah terjadi pada sebuah garis besar. Bayangkan jika ketika J.S. Bach, pelopor komponis zaman Baroque masih hidup, sudah ada listrik dan studio combo, atau sebuah synthesizer dan seperangkat alat musik elektronik modern yang begitu canggih. Entah apa yang akan J.S. Bach lakukan, apakah ia akan tetap menulis fuga atau membuat sebuah komposisi musik technical death metal? Entahlah. Perkembangan teknologi dan perkembangan zaman tentu sangat mempengaruhi produk-produk kebudayaan yang terlahir di dalamnya, begitu pun bagi perkembangan musik.

Musik kontemporer, sebagai salah satu bentuk musik yang terlahir dari zaman ke zaman, merupakan sebuah garis tanpa batas, sebuah pemandangan yang tidak berujung, dan sebuah tawaran tanpa syarat apapun, tergeletak pasrah pada sebuah ruang dan waktu. Namun, di sisi lain, musik kontemporer adalah sebuah perlawanan, perlawanan yang sesungguhnya perlawanan. Sebuah perlawanan terhadap “kemapanan yang anteng” dan terminasi yang sudah menjadi tirani dari industri mainstream.

Seyogyanya, sebelum menisbikan karya musik kita sebagai sebuah musik kontemporer, setidaknya hadirkanlah sebuah tawaran, sedikit apapun itu. Tidak hanya menjadi sebuah pelarian karena kita tidak mampu memainkan musik pada umumnya, musik yang sudah terlahir kini. Mempelajari akar rumput dari sebuah keilmuan, begitu pun dalam hal musik, akan selalu lebih baik ketimbang melewatinya dengan malas dan langsung mencari alternatif lain yang sesungguhnya sudah lama hadir tertanam dalam akar rumput itu sendiri. Namun, kesemua itu adalah sebuah pilihan, musik adalah sebuah kemerdekaan.

Photo Header: Ambleside Days

Robi Rusdiana

Tokoh ini sudah sangat akrab dengan dunia musik. Gitar, keyboard, hingga piano klasik sudah menjadi bagian dari kesehariannya sejak kecil. Ketertarikannya pada musik dilanjutkan pada pendidikan formal hingga meraih gelar Magister Seni di tahun 2013. Robi Rusdiana juga merupakan pendiri dari proyek musik Ensemble Tikoro.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner