Bicara Tentang “Komunitas Musik” dari Pandangan Pribadi

Gerombolan metalhead dari Lampung Timur adalah salah satu bukti. Kaum-kaum penikmat music ekstrim ini mencoba “meretas” akses untuk mendapatkan venue dalam rangka membuat satu gigs kolektif. Salah satu caranya, mereka mencoba memanfaatkan balai desa setempat—jadi judulnya minal balai desa ilal balai desa—walaupun itu tidak didapatkan secara gratis. Setidaknya, mereka membuktikan kekuatan kolektif dan gotong royong, yang seharusnya bisa mereka dapatkan dengan mudah dan layak. Mudah-mudahan, orang pemerintah sono membuka fasilitas publik dan sadar akan potensi. #semangatlur

Sedangkan dalam realita lain, semaraknya kehadiran komunitas dalam setiap pertunjukan musik semakin terlihat dan jelas menjadi tolak ukur akan andil keberhasilan sebuah pagelaran musik. Realita itu menjadi barometer penilaian dan kepentingan bagi para musisi dan grup musik maupun pihak penyelenggara untuk mengetahui sejauh mana penetrasi pasar yang telah dicapai. Selain itu, mereka juga dapat melihat arah kebijakan profitabilitas brand atau produk yang akan dipasarkan. Sejatinya, yang namanya komunitas itu merupakan embrio dari konsep inovasi dan kreativitas peradaban para visioner dalam industri musik. Gitu deh…

Namun, apapun alibinya, yang jelas musik adalah bahasa kalbu yang bersifat global dan dinamis, lantaran mampu mempersatukan peradaban manusia seantero jagad raya. Yah… kita jatuh cinta dengan musik, patah hati dengerin musik, negara merdeka pun diiringi dengan musik. Tak hanya itu, selain dapat menebar energi positif, musik juga mampu mengubah suasana dan peradaban dunia serta pola pikir manusia. Tanpa musik, dunia terasa hampa dan dengan musik hakekat hidup menjadi lebih indah dan damai, apapun genre-nya. Oleh karenanya, komunitas hanya sepenggal kata. Namun, eksistensinya juga bagian dari peran dan kebutuhan dalam mengejawantahkan peradaban industri musik di masa kini dan era mendatang dengan serta merta, tanpa melacurkan geliat dan kobaran api idealisme.

#SALAMOLAHRAGA