Apakah Bermain Musik Metal Itu Bebas dan Tanpa Aturan? (Bagian 2)

Apakah Bermain Musik Metal Itu Bebas dan Tanpa Aturan? (Bagian 2)

Seiring dengan berkembangnya musik metal di Indonesia, beberapa pertanyaan sekaligus persoalan muncul ke permukaan. Tidak saja persoalan tentang “keanehan” musiknya, tetapi segala hal yang terkait dengan dinamika perkembangan musik ini yang mengundang rasa ingin tahu masyarakat. Pertanyaan sederhana seperti, “apa sih enaknya musik metal?” atau “kenapa vokalnya harus menggeram?”. Seringkali, jawaban atas pertanyaan tersebut tidak bisa langsung kita peroleh, tapi salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah melalui pengetahuan mengenai ciri-ciri musiknya, dan ciri-ciri yang berperan memberi stimulan keindahan itu dapat disebut sebagai ciri-ciri estetik.

Bagi saya (mungkin juga teman-teman komunitas metal), pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi sebuah otokritik yang pada akhirnya menjadi sebuah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Tapi, saya sadar ini bukan perkara mudah. Musik tidak bisa seperti puisi, patung, atau lukisan yang dapat menghibur pikiran kita dengan konsepsi yang nyata dan bentuk yang terlihat. Butuh usaha keras untuk menentukan indikator sebuah musik disebut indah (adiluhung). Dalam titik ini, semua orang mempunyai kewenangan untuk menilai sebuah musik dengan perspektif masing-masing.

Jadi, sebenarnya estetika musik metal itu seperti apa? Bagaimana? Sebelum kea rah sana, akan lebih baik jika kita mengerti juga apa itu estetika. Satu sumber menyampaikan bahwa belakangan ini estetika sering diartikan (modern) sebagai sebuah disiplin filsafat, yakni apakah sebagai filsafat fenomena estetik (obyek, kualitas, pengalaman, dan nilai), filsafat seni (kreativitas, karya seni, dan persepsi terhadapnya); filsafat kritik seni secara luas (metakritisisme); atau, akhirnya, sebagai sebuah disiplin keilmuan yang secara filsafati berurusan dengan ketiga hal di atas seluruhnya. Singkat kata, secara sempit estetika sering diartikan sebagai ilmu tentang keindahan, dan keindahan umumnya dipahami sebagai kualitas atau sifat. Dari situ, biasanya muncul istilah bagus-jelek, baik-buruk, enak-bosan, dan lain-lain.

Saya akan sangat setuju jika nilai-nilai yang muncul tentu memandang perlunya kehadiran gejala yang dinilainya. Seperti dinyatakan Warren L. d’Azevedo, estetika adalah “the qualitative feature of the event involving the enhancement of experience and the present enjoyment of the intrinsic qualities of things.”, sementara dalam kasus musik, kualitas intrinsik meliputi aspek tekstual sebuah musik seperti tone quality, bunyi, pola ritmis, komposisi, instrumentasi, dan lain-lain.

Untuk dapat memahami, menilai dan merasakan rasa estetis musik metal, tentunya sangat penting untuk mengenal secara umum karakteristiknya. Seperti yang diungkapkan Weinstein (2000), sebagian orang menilai musik ini hanya mengganggu dan merusak telinga, tetapi apa yang terjadi sekarang ialah kecenderungan musisi dan pendengarnya memungsikan musik ini sebagai penambah energi, ketangguhan, dan kekuatan.

Hinhin Agung Daryana atau yang lebih dikenal dengan sebutan Hinhin Akew adalah salah satu tokoh yang sudah bergelut di ranah musik bawah tanah sejak tahun '90an. Ia merupakan seorang gitaris dan akademisi yang fokus mengajar hal-hal yang berkaitan dengan musik. Hari ini, ia aktif dan bermusik bersama Nectura dan Humiliation.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner