10 Tahun Tragedi 9 Februari, Sebuah Refleksi untuk Komunitas Musik Bandung

10 Tahun Tragedi 9 Februari, Sebuah Refleksi untuk Komunitas Musik Bandung

Sepuluh tahun telah berlalu semenjak tragedi 9 Februari terjadi. Suksesi kepemimpinan telah terjadi dan mampu merubah wajah kota Bandung menjadi sebuah tempat yang lebih manusiawi. Perbaikan dan pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik terus dilakukan demi mengejar indeks kebahagian warganya. Semua janji selama kampanye satu persatu mulai diwujudkan. Sementara, kondisi komunitas berangsur kembali normal. Populasi band baru terus bertambah, komunitas musik yang terus tumbuh dan bergerak dinamis, seiring dengan masuknya peran korporasi yang sudah mulai terbuka pada potensi ekonomi yang terdapat dalam komunitas musik di Bandung.

Panggung pertunjukan musik dengan berbagai jenis musik kembali ramai di setiap akhir pekan. Dari panggung skala kecil hingga skala kolosal ramai menghibur anak muda Bandung yang memang senang mengapresiasi. Band Beside yang dengan susah payah mencoba membangun citra telah kembali produktif berkarya dan berhasil mengharumkan nama Bandung dan Indonesia di salah satu kompetisi musik metal di Jerman. Citra sebagai “band pembuat onar” berhasil dihilangkan dengan capaian prestasi dan karya. Banyak pencapaian yang telah berhasil diwujudkan oleh komunitas musik di Bandung selama sepuluh tahun pasca tragedi 9 Februari.

Namun, ada yang harus kembali disadari, bahwa sesungguhnya tragedi 9 Februari bukan hanya milik Beside sebagai sebuah band. Beside adalah salah satu representasi dari identitas anak muda di kota Bandung yang mempunyai energi dan potensi kreatif, dan pesan tersebut gagal direspon oleh pengelola kota Bandung. Kesadaran kolektif yang telah dibangun oleh Solidaritas Independen Bandung sepuluh tahun yang lalu kini mulai luntur.

Ada semacam kesan pengkerdilan isu, seolah peringatan 9 Februari hanya boleh dimaknai oleh Beside. Seolah Beside adalah tokoh yang bersalah dan paling bertanggung jawab terhadap tragedi yang terjadi. Padahal, semua tahu bahwa pasca 9 Februari, semua kerja-kerja yang berkaitan dengan pembangunan opini dilakukan secara kolektif, melibatkan lintas komunitas dan dilakukan secara sukarela atas dasar kecintaan dan solidaritas antar komunitas. Jika lantas hari ini respon yang dilakukan terhadap tragedi 9 Februari kembali hanya terjebak di wilayah seremonial formal dalam format doa bersama kembali, maka kita wajib mempertanyakan kembali nyali dan militansi yang selama ini kita bangun dengan banyak pengorbanan.

Kita harus kembali berkaca dan belajar banyak tentang keberanian dari ibu-ibu di Kendeng yang melakukan aksi menyemen kaki di depan Istana Negara, atau belajar militansi dari para ibu yang anak-anaknya menjadi korban penghilangan paksa melalui aksi Kamisan, berdiri memegang payung hitam di depan Istana Negara. Hari ini, kita yang mengaku kelas menengah yang diberkati kesadaran dan pemahaman lebih memilih untuk melakukan aksi di zona nyaman. Kita sekarang kalah pintar dan berani dari kawanan buruh dan petani yang merayakan May Day dengan aksi langsung dan melakukan penekanan di pusat kekuasaan.

Kita yang hari ini kembali terjebak dalam gerakan pragmatis dan oportunis masih sibuk membangun citra yang sebetulnya sudah cukup banyak mendapatkan penilaian positif dari hasil kajian akademis dan riset tentang potensi di balik musik yang kita mainkan. Sementara, apa yang seharusnya menjadi hak setiap anak muda di kota Bandung kembali hanya berakhir menjadi sekedar janji kampanye.

Tanggal 9 Februari seharusnya menjadi momentum untuk kembali membangun kesadaran kolektif, merajut kembali solidaritas, dan membangunkan kembali apa yang seharusnya menjadi hak kita sebagai bagian dari warga kota. Kota Bandung butuh kejutan baru dalam bentuk aksi nyata yang terorganisir dan terukur. Sudah saatnya peringatan tragedi 9 Februari hadir dalam bentuk baru dan mampu memberi penyadaran bagi setiap warga kota Bandung. Aksi yang mampu dimaknai oleh siapa saja sebagai sebuah momentum bahwa berekspresi dan berkreasi adalah bagian mendasar dari hak asasi manusia dan wajib difasilitasi oleh penyelenggara pemerintahan.

Ranah musik bawah tanah Kota Bandung tidak akan pernah sama jika Addy Gembel tidak hadir di era '90an. Bersama grup musik ekstrim yang dinamai Forgotten, ia lantang menyuarakan tentang hal-hal provokatif dan kontroversial, dengan dua jenis pilihan bahasa: frontal dan sangat frontal. 

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner